Korwil Himapol, Muslem (kanan) |
LHOKSUKON - Wacana Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem mencari
pendamping dari kalangan Partai Nasional untuk maju pada pilkada 2017 mendatang
sebagai calon Gubernur Aceh, menunjukkan kondisi Partai lokal di Aceh seperti
senapan tanpa amunisi.
Demikian
dikatakan Koordinator Wilayah Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (Himapol) se-Sumatera,
Muslem, kepada lintasatjeh.com, Sabtu (25/7/2015).
Wacana
itu, tambah Muslem, juga menunjukkan bahwa partai lokal di Aceh seakan-akan
tidak sanggup lagi untuk bersaing dengan partai-partai nasional. Padahal, dengan
adanya partai lokal menunjukkan bahwa Aceh berbeda dengan daerah-daerah yang
lain dan mempunyai banyak keistimewaan melalui perdamaian MoU Helsinki.
Menurutnya,
pelaku sejarah bangsa Aceh sangatlah berat untuk dapat memperoleh keistimewaan
tersebut. Saat ini partai lokal di Aceh butuh kader muda yang akan membawa
perubahan besar terhadap kemajuan dan kesejahteraan Aceh yang memiliki banyak
potensi alam yang berlimpah.
"Membangun
koalisi dengan parnas itu juga akan membuka lebar peluang parnas dalam bersaing
dengan parlok di Aceh," ujar Mahasiswa Universitas Malikussaleh (Unimal) ini.
Muslem
menilai langkah Muzakir Manaf untuk berencana mengambil tokoh dari parnas
sebagai pendampingnya dalam pilgub/wagub tahun 2017 mendatang merupakan
kegagalan partai lokal dalam melahirkan kader-kader baru. Artinya ini menjadi
pengunduran politik bagi partai lokal di Aceh, meskipun itu merupakan hal yang
wajar juga salah satu strategi geopolitik yang sedang diupayakan oleh partai
lokal untuk dapat kembali meraih kekuasaan di pemerintahan Aceh.
"Itu
sama saja dengan orang yang menyerah ketika perang sedang berlangsung, saat ini
parlok di Aceh sedang bertarung dengan parnas untuk memperoleh kekuasaan di Aceh,
itu penting demi keberlangsungannya partai lokal di Aceh," pungkasnya.[pin]