IST |
Oleh: Delky Nofrizal Qutni
Bergulir
sang waktu yang melantuni langkah dan kisah, menggores ruang cerita
kehidupanku. Aku seorang lelaki yang tengah berjuang mengarungi samudra
pertualangan hidup, berharap sampai ke pulau cita-cita. Terukirlah kisah di
tengah lautan nan luas, deraian ombak bernuansa. “Cinta”,
begitu muda-mudi menyebutnya. Entah ombak apa itu, menggulung cepat menyentuh kalbu
orang yang sedang dilandanya.
Kau
buat ku tak berkutik dengan keindahanmu, namun terlalu sering kau buat ku
kecewa untuk melepasmu. Namun, begitulah sang waktu mengurai takdir kisah ku.
Seakan ku tak bisa melawan dan mengelak dari arus cinta yang menghampiri
hari-hari. Kadang memberi kekuatan untuk melangkah, namun tak jarang membuat
bekunya bara di dalam jiwa.
Begitulah
hari-hari ku lalui sejak ku mengenal yang namanya cinta dari sesosok gadis dari
kecamatan tetangga. Hingga akhirnya ku mencoba melawan kisah, berharap perahu
jiwa tak kehilangan arah, namun tak kunjung jua ku temukan cara untuk lepas
dari perangkap rasa yang membuat ku terombang-ambing di tengah-tengah samudra.
Namun,
kini tanpa disadari hadirnya sosok baru yang mengguncang hati, dengan senyum
merona menebar pesona, bersama goresan-goresan pena pengguncang jiwa. Sesaat
tiba-tiba kau buat aku mencoba kembali mendayung rasa, berjuang menembus dan
memecah badai kisah lama.
Kau
sosok baru yang kini warnai hariku, tak tau hadirmu laksana pelangi tatkala
mentari menghilang. Dikala kilauan yang benderang memudar ditelan samudra waktu, tanpa diduga dan tidak
terencana tiba-tiba kau hadir dengan sepercik warna yang indah member makna.
Mencoba
menyentuh hatiku yang kiat terjerat dengan kepedihan kisah masa lalu yang terus
merasuk dan membayangi hariku. Kehadiranmu memang tak benderang laksana lampu
sorot atau terik mentari di tengah hari. Namun kau beri untaian keindahan di
ruang hati yang sepi.
Kau
sang jurnalis muda setiap harinya kau disibukkan dengan liputan-liputan berita.
Dengan informasi-informasi yang kau suguhkan di media massa. Namun, menulis
tulisan-tulisan bernuansa rasa dan asmara.
“Menulis”,
begitu hobby mu yang ku ketahui.
Hobby
itu ku lihat dari aktivitas seharianmu, dengan sebuah laptop dan modem
unlimitedmu, kau merangkai bait-bait syahdu.
Kau tulis kata demi kata, kau rangkai bait demi bait penuh makna. Kau
ukir tulisan itu di blog sederhanamu,
membuat para pembaca terkesima.
Kau
penulis di ruang jiwa, elok memang tulisanmu, sungguh manis untaian bahasamu.
Aku salah satu pembaca yang kerap chatting dan sms denganmu, untuk
menghilangkan rasa jenuh di malam sepiku, berharap dapat memberi nuansa di saat
kelabu atau membuat sepercik senyum menores lara ku. Lama komunikasi dunia maya
itu kita coba lakukan, sungguh sangat jarang kita bersua di dunia nyata.
Kesibukan masing-masing seakan membuat spasi di antara lantunan rasa.
Namun,
beberapa hari terakhir sikapmu kian terasa beda, chatting dan sms ku mulai tak
berbalas atau kau balas dengan kata-kata singkat berbentuk symbol-simbol. Sehingga
menghadirkan ruang tanya baru, yang membuatku kian penasaran akan sikap
misteriusmu. Entahlah, entah teka-teki apalagi yang sedang kau rangkai lewat
sikapmu itu, segudang tanda tanya terus melantun di benakku. Hingga ku coba
pahami bait per bait dari goresan pena mu di sebuah blog bernama ruang jiwa
itu.
Namun,
hanya segelintir tulisan yang dapat ku pahami, selebihnya terlalu dalam
maknanya dan begitu sulit ku tafsirkan dengan sentuhan rasaku. Yang pasti
tergores sebilah tulisan yang menggambarkan sepercik kisah masa lalumu. Ku
melihat dari tulisan itu kau seakan masih terperangkap di kisah masa lalu mu,
sama seperti diriku yang terjerat di untaian cerita asmara yang membuat bara
hatiku beku.
Kau
penulis ruang jiwa yang dilanda rasa ragu, entah ragu kepada ku ataupun ragu
dengan untaian cerita yang menyelimuti harimu. Terlalu sulit untuk ku pahami
hal itu, karena logika ini terlalu dangkal untuk menafsirkan lantunan rasa.
Sehingga ku memilih untuk diam dan hanya bicara pada sebuah laptop sederhana
milikku yang kian terlihat usang dengan tulisan-tulisan yang mulai tak
berwarna.
Kendatipun
ku terus memaksa namun apalah daya jika halaman-halaman itu ku gores tanpa
tinta. Sudahlah biarkan semua kuserahkan kepada sang pencipta rasa, hingga ku
tak kembali terjatuh di alur kisah yang sama seperti sediakala. Sungguh ku tak
kuasa berkelana di ruang rasa yang tak mengenal jarak dan masa. Biarlah, biar
semua rintihan tak bersuara laksana bara yang membeku di antartika.
Hanya
sebuah keyakinan berbingkai harapan mencatut di dalam sanubari yang semakin hampa,
berharap keindahan akan hadir untuk mengubur semua luka melenyapkan semua
kepedihan hingga langkah terasa kembali bermakna, hingga hembusan nafas tak
lagi terasa sia-sia.