IST |
JAKARTA – Usulan Presiden Joko Widodo soal Sutiyoso menjadi
Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) dinilai sangat melukai perasaan rakyat dan
mencederai demokrasi di Negara Republik Indonesia.
BIN
sebagai lembaga Negara yang berfungsi sebagai lembaga penyerangan untuk
kepentingan negara, kini dicoba menjadi sasaran transaksi politik bagi-bagi
kekuasaan setelah munculnya pembentukan Kantor Staf Kepresidenan.
"Sutiyoso
adalah ketua umum partai politik, dan BIN adalah lembaga Negara yang seharusnya
steril dari kepentingan politik tertentu, dan oleh sebab itulah Kepala BIN
haruslah orang yang profesional, bersih dari anasir kepentingan politik
tertentu apalagi partai politik," kata Laode Kamaludin dari departemen
Kajian Aksi dan Jaringandari Badan Relawan Nusantara dalam keterangan pers yang
diterima, Senin (15/6/2015).
Dirinya
mengatakan, Presiden sebagai kepala Negara yang memiliki hak preogratif dalam
hal ini harusnya jangan ceroboh dan gegabah dalam memilih calon Kepala BIN.
"Dan
Presiden haruslah terbebas dari tekanan politik balas jasa pasca pilpres.
Karena BIN adalah lembaga Negara yang sangat strategis dan vital yang memiliki
dampak yang besar bagi negara. Jadi Presiden harus melihat rekam jejak dari
seorang Mantan Pangdam Jaya tersebut," katanya.
Ia
mempertanyakan integritas dan moralitas Sutiyoso yang diduga terlibat tragedi
kasus 27 juli (Kudatuli), belum lagi dugaan praktek korupsi selama menjadi
gubernur DKI Jakarta.
"Jokowi
sebagai presiden adalah harapan baru bagi rakyat agar adanya perubahan dan
rakyat memilihnya, jadi Jokowi tidak usah takut atas tekanan politik kelompok
tertentu atau memang justru sebaliknya ini semata-mata bagi-bagi kue kekuasaan
saja," katanya.
"Oleh
karena itulah kami yang tergabung dalam Badan Relawan Nusantara mendesak agar
pencalonan Sutiyoso segera dibatalkan atau ditarik rekomendasinya dan di
gantikan oleh putra-putri terbaik bangsa yang bersih dan memang menguasai
dibidangnya," kata Laode.[Tribunnews]