-->

MaTA Desak Jaksa Tuntut Sekda Abdya dengan Hukuman Maksimal

06 Juni, 2015, 18.10 WIB Last Updated 2015-06-06T11:18:27Z
IST
BANDA ACEH - Masyarakat Tranparansi Aceh (MaTA) mengapresiasi langkah yang diambil oleh Kejaksaan Negari (Kejari) Blangpidie dengan menahan tersangka kasus dugaan korupsi pengadaaan Alat Kesehatan (Alkes) di RSUD Teungku Peukan, Abdya. Menurut MaTA, langkah ini merupakan untuk mewujudkan supremasi hukum di Aceh dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, langkah ini merupakan wujud untuk memberi efek jera kepada oknum yang terlibat dan juga pembelajaran bagi masyarakat umum secara luas.

MaTA berharap, langkah untuk menahan tersangka kasus indikasi korupsi perlu diikuti oleh Kejari-kejari lain di Aceh. Ini penting, selain guna mewujudkan keadilan hukum bagi masyarakat, juga dapat memperbaiki persepsi masyarakat terhadap aparat penegak hukum yang selama ini dipandang sebelah mata. MaTA melihat, selama ini tersangka korupsi apalagi yang memiliki jabatan dilevel pemerintahan diperlakukan secara istimewa. Hal ini terlihat dari kasus indikasi korupsi Yayasan Cakradonya yang terjadi Lhokseumawe.

Berdasarkan catatan MaTA, kata Koordinator Bidang Monitoring dan Peradilan MaTA, Baihaqi, Sabtu (6/6/2015), kasus indikasi korupsi dalam pengadaan Alkes di RSUD Teungku Peukan yang anggarannya bersumber dari APBN 2013 telah merugikan keuangan Negara sebesar Rp 950 juta. Kasus yang melibatkan Sekda Abdya dan dua kroninya yakni Kabid Pengembangan Sumber Daya Kesehatan pada Dinas Kesehatan Abdya dan Kasi PMD dan Kesra pada Setcam Blangpidie ini mulai ditangani pada Januari 2014 silam oleh Kejari Blangpidie.

Selain menahan tersangka, langkah lain yang perlu diambil Jaksa adalah menelusuri aliran dana hasil tindak pidana ini. Ini bertujuan untuk mencari oknum lain yang ikut terlibat dalam kasus ini. Menurut MaTA, follow the money selama ini sangat jarang dilakukan di Aceh, padahal ini merupakan langkah konkrit untuk mencari keterlibatan oknum-oknum lainnya. Disamping itu, MaTA juga mendesak agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) nanti dapat menuntut para oknum yang terlibat dengan hukuman yang maksimal sebagaimana diamanahkan dalam UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidan korupsi.

Terdakwa kasus Cakradonya harus ditahan

Terkait kasus indikasi korupsi yang melibatkan pejabat setingkat Sekda, MaTA melihat terjadi beda pandangan antar sesama Kejari di Aceh. Kasus dugaan pengadaan Alkes di Abdya, para tersangkanya langsung di tahan. Sedangkan kasus indikasi korupsi Yayasan Cakradonya di Lhokseumawe yang kini sudah dalam tahapan persidangan, para oknum yang terlibat belum juga ditahan. Bahkan, pada saat penyelidikan kasus Yayasan Cakradonya, Jaksa hanya menetapkan para oknum yang ikut serta terlibat sebagai tahanan kota. Padahal, dikedua kasus tersebut, Sekda dimasing-masing daerah diindikasikan terlibat.  Apa yang terjadi dengan Kejari Lhokseumawe?

Menurut MaTA, kalau alasannya kooperatif dijadikan sebagai alasan untuk tidak ditahan, maka ini merupakan suatu alasan yang dapat memberikan nilai negatif ditengah-tengah masyarakat. Artinya, semua orang akan melakukan korupsi dan jika kelak diusut oleh aparat penegak hukum, cukup bersikap kooperatif saja untuk tidak ditahan. Apakah yang seperti ini yang diinginkan oleh Kejari Lhokseumawe? Selain itu, tidak ditahannya oknum yang terindikasi terlibat dalam tindak pidana korupsi akan memunculkan dugaan miring kepada aparat penegak hukum dan kalau ini terus terjadi ketidak percayaan masyarakat akan semakin menjadi-jadi.

Oleh karenanya, MaTA berharap setiap aparat penegak hukum agar segera menangkap dan menahan para oknum yang terlibat alam kasus indikasi korupsi. Terkait dengan kasus Yayasan Cakradonya, MaTA mendesak Majelis Hakim Pengadilan Tipikor harus memerintahkan terdakwa kasus ini segera di tahan.

Berdasarkan catatan MaTA, dalam kasus Yayasan Cakradonya Lhokseumawe telah terjadi kerugian Negara sebesar Rp 1 milyar yang anggarannya bersumber dari dana hibah biro isra pemerintah Aceh tahun 2010. Kerugian ini didapat berdasarkan barang bukti sitaan jaksa. Kasus ini sendiri melibatkan Sekdako Lhokseumawe dan dua kroninya direktur dan sekretaris Yayasan Cakradonya. Dalam kasus ini, JPU menuntut Sekdako Lhokseumawe 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta dan kroninya dituntut 4,5 tahun penjara dan denda Rp. 200 juta.

Terkait dengan kasus yayasan Cakradonya Lhokseumawe, MaTA menduga Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk oleh Kejati Aceh pada Maret 2015 silam tidak bekerja maksimal. Hal ini dibuktikan dengan kasus Yayasan Cakradonya yang ketiga oknum yang terlibat tidak ditahan. Padahal, tujuannya pembentukan satgassus ini untuk percepatan penyelesaian kasus indikasi korupsi dan untuk mengintensifkan penindakan kasus korupsi.[rls]
Komentar

Tampilkan

Terkini