IST |
BANDA ACEH - Masyarakat Tranparansi Aceh (MaTA) mengapresiasi
langkah yang diambil oleh Kejaksaan Negari (Kejari) Blangpidie dengan menahan
tersangka kasus dugaan korupsi pengadaaan Alat Kesehatan (Alkes) di RSUD
Teungku Peukan, Abdya. Menurut MaTA, langkah ini merupakan untuk mewujudkan
supremasi hukum di Aceh dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu,
langkah ini merupakan wujud untuk memberi efek jera kepada oknum yang terlibat
dan juga pembelajaran bagi masyarakat umum secara luas.
MaTA
berharap, langkah untuk menahan tersangka kasus indikasi korupsi perlu diikuti
oleh Kejari-kejari lain di Aceh. Ini penting, selain guna mewujudkan keadilan
hukum bagi masyarakat, juga dapat memperbaiki persepsi masyarakat terhadap
aparat penegak hukum yang selama ini dipandang sebelah mata. MaTA melihat,
selama ini tersangka korupsi apalagi yang memiliki jabatan dilevel pemerintahan
diperlakukan secara istimewa. Hal ini terlihat dari kasus indikasi korupsi
Yayasan Cakradonya yang terjadi Lhokseumawe.
Berdasarkan
catatan MaTA, kata Koordinator Bidang Monitoring dan Peradilan MaTA, Baihaqi,
Sabtu (6/6/2015), kasus indikasi korupsi dalam pengadaan Alkes di RSUD Teungku
Peukan yang anggarannya bersumber dari APBN 2013 telah merugikan keuangan
Negara sebesar Rp 950 juta. Kasus yang melibatkan Sekda Abdya dan dua kroninya
yakni Kabid Pengembangan Sumber Daya Kesehatan pada Dinas Kesehatan Abdya dan
Kasi PMD dan Kesra pada Setcam Blangpidie ini mulai ditangani pada Januari 2014
silam oleh Kejari Blangpidie.
Selain
menahan tersangka, langkah lain yang perlu diambil Jaksa adalah menelusuri
aliran dana hasil tindak pidana ini. Ini bertujuan untuk mencari oknum lain
yang ikut terlibat dalam kasus ini. Menurut MaTA, follow the money selama ini
sangat jarang dilakukan di Aceh, padahal ini merupakan langkah konkrit untuk
mencari keterlibatan oknum-oknum lainnya. Disamping itu, MaTA juga mendesak
agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) nanti dapat menuntut para oknum yang terlibat
dengan hukuman yang maksimal sebagaimana diamanahkan dalam UU No 20 tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidan korupsi.
Terdakwa kasus Cakradonya harus ditahan
Terkait
kasus indikasi korupsi yang melibatkan pejabat setingkat Sekda, MaTA melihat
terjadi beda pandangan antar sesama Kejari di Aceh. Kasus dugaan pengadaan
Alkes di Abdya, para tersangkanya langsung di tahan. Sedangkan kasus indikasi
korupsi Yayasan Cakradonya di Lhokseumawe yang kini sudah dalam tahapan
persidangan, para oknum yang terlibat belum juga ditahan. Bahkan, pada saat
penyelidikan kasus Yayasan Cakradonya, Jaksa hanya menetapkan para oknum yang
ikut serta terlibat sebagai tahanan kota. Padahal, dikedua kasus tersebut,
Sekda dimasing-masing daerah diindikasikan terlibat. Apa yang terjadi
dengan Kejari Lhokseumawe?
Menurut
MaTA, kalau alasannya kooperatif dijadikan sebagai alasan untuk tidak ditahan,
maka ini merupakan suatu alasan yang dapat memberikan nilai negatif
ditengah-tengah masyarakat. Artinya, semua orang akan melakukan korupsi dan
jika kelak diusut oleh aparat penegak hukum, cukup bersikap kooperatif saja
untuk tidak ditahan. Apakah yang seperti ini yang diinginkan oleh Kejari
Lhokseumawe? Selain itu, tidak ditahannya oknum yang terindikasi terlibat dalam
tindak pidana korupsi akan memunculkan dugaan miring kepada aparat penegak
hukum dan kalau ini terus terjadi ketidak percayaan masyarakat akan semakin
menjadi-jadi.
Oleh
karenanya, MaTA berharap setiap aparat penegak hukum agar segera menangkap dan
menahan para oknum yang terlibat alam kasus indikasi korupsi. Terkait dengan
kasus Yayasan Cakradonya, MaTA mendesak Majelis Hakim Pengadilan Tipikor harus
memerintahkan terdakwa kasus ini segera di tahan.
Berdasarkan
catatan MaTA, dalam kasus Yayasan Cakradonya Lhokseumawe telah terjadi kerugian
Negara sebesar Rp 1 milyar yang anggarannya bersumber dari dana hibah biro isra
pemerintah Aceh tahun 2010. Kerugian ini didapat berdasarkan barang bukti
sitaan jaksa. Kasus ini sendiri melibatkan Sekdako Lhokseumawe dan dua kroninya
direktur dan sekretaris Yayasan Cakradonya. Dalam kasus ini, JPU menuntut
Sekdako Lhokseumawe 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta dan kroninya dituntut
4,5 tahun penjara dan denda Rp. 200 juta.
Terkait
dengan kasus yayasan Cakradonya Lhokseumawe, MaTA menduga Satuan Tugas Khusus
Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk oleh
Kejati Aceh pada Maret 2015 silam tidak bekerja maksimal. Hal ini dibuktikan
dengan kasus Yayasan Cakradonya yang ketiga oknum yang terlibat tidak ditahan.
Padahal, tujuannya pembentukan satgassus ini untuk percepatan penyelesaian
kasus indikasi korupsi dan untuk mengintensifkan penindakan kasus korupsi.[rls]