Bismillahirrahmanirrahim...
Hidup Ummat !!! Hidup Islam!!!
Lahirnya berbagai problematika di Aceh saat ini semestinya
menjadi pemicu bagi seluruh ummat Islam untuk ambil andil dalam mempertahankan
keberadaan Islam di Aceh sebagai salah satu daerah yang memiliki kekhususan
yang diatur dalam undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
kekhususan itu mencakup di bidang Syariat Islam. Tetapi, kekuhususan tersebut
seakan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai ruang untuk memperkuat dan
mengembangkan agama islam di bumi serambi Mekkah ini.
Dapat kita lihat secara seksama, hingga saat ini misionaris,
pendangkalan aqidah, maksiat yang
semakin marak di Aceh terutama di daerah-daerah perbatasan seperti Aceh
Tenggara, Aceh Singkil, Subulussalam, dan Aceh Tamiang. Hal ini dapat dilihat
dari maraknya pendangkalan Aqidah di beberapa daerah, maksiat yang kian
merajalela hingga tuak pun di beberapa tempat daerah perbatasan seakan menjadi
minuman biasa, pertumbuhan gereja/undung-undung yang kian menjamur.
Salah satu hal yang sangat menyedihkan adalah di kabupaten
Aceh Singkil, dimana 27 gereja/undung-undung dengan leluasa dibangun di bumi
Syeikh Abdurrauf As-singkili dan Syeikh Hamzah Fansuri tersebut. Mirisnya lagi,
saat ini jumlah penduduk non muslim di Aceh Singkil hampir mencapai 17 % dari total penduduk. Padahal selama ini di
dengung-dengungkan agar Islam di Aceh ke depan kembali berjaya seperti masa
Syeikh Abdurrauf As-singkili dan Syeikh Hamzah Fansuri. Sementara dibumi tempat
kelahiran ulama besar Aceh tersebut gerakan misionaris semakin mencekam. Belum
lagi jika kita di Aceh Tenggara, ada desa yang justru memiliki 2
gereja/undung-undung dalam satu desa.
Ironisnya lagi, kita seakan disibukkan dengan persoalan
khilafiyah (perbedaan pendapat) yang semestinya bukan persoalan yang harus
dibesar-besarkan, karena masih banyak persoalan yang menjadi ancaman besar bagi
keberadaan Islam di Aceh. Melihat
kondisi ini kami menyatakan sikap sebagai berikut :
1.Di bulan
yang pernuh berkah ini, kami mengajak semua pihak untuk tidak memperuncing
persoalan khilafiyah(perbedaan pendapat), karena hanya akan menjadi ruang
pemecah belah ummat islam di Aceh. Namun, kita berharap semua elemen bersatu
untuk meningkatkan syiar Islam hingga ke daerah-daerah perbatasan yang sangat
membutuhkan.
2.Revitalisasi
managemen mesjid Raya Baiturrahman dengan sebaik-baiknya, sehingga mesjid Raya
Baiturrahman berfungsi sebagai pusat peribadatan, peradaban dan syiar islam.
3.Ulama
semestinya dapat dijadikan sebagai perekat dan pemersatu ummat. Untuk itu, Kami
mengajak Majelis Permusyawarah Ulama (MPU) Aceh, Himpunan Ulama Dayah Aceh
(HUDA) dan Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) dan ulama lainnya untuk lebih
fokus kepada upaya pengembangan dan syiar islam serta mengantisipasi
berkembangnya misionaris di Aceh terutama kabupaten perbatasan seperti Aceh
Tenggara, Aceh Singkil, Subulussalam dan Aceh Tamiang.
4.Meminta
Pemerintah Aceh untuk mengirimkan ulama baik itu dari Majelis Permusyawarah
Ulama (MPU) Aceh, Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan Majelis Ulama Nanggroe
Aceh (MUNA) sebanyak-banyaknya ke daerah-daerah perbatasan yang merupakan
benteng pertahanan terhadap masuknya kristenisasi dan upaya pendangkalan aqidah
di bumi serambi Mekkah
5.Hentikan
politisasi mesjid dan maksimalkan fungsi mesjid sebagai tempat ibadah dan syiar
islam di Aceh.
Demikian pernyataan ini kami buat sebegai bentuk
keprihatinan terhadap Agama Islam dan Nasib Kaum Muslimin dan Muslimat di
daerah-daerah perbatasan yang kerap terlupakan oleh kita. Demi wujudnya Roh dan
kejayaan Islam di Aceh ini MARI BERSATU,
KITA JADIKAN PERBEDAAN RAHMAT, BUKAN RUANG PEMECAH BELAH UMMAT.
Allahu Akbar ... Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Banda Aceh, 25 Juni 2015
GERAKAN PAGUYUBAN MAHASISWA PEDULI DAERAH PERBATASAN
(GPM- PeDAS), Jirin Capah Koordinator Lapangan, Delky Nofrizal Qutni Juru Bicara