![]() |
IST |
SEBAGAI negara dengan iklim tropis, Indonesia yang dulu
dikenal dengan Nusantara memiliki daya tarik tersendiri bagi kaum Eropa yang
kondisi alamnya sangat berbeda.
Secara
ekonomi mereka membutuhkan natural resource yang lebih besar dan tentu dengan
harsga sangat rendah. Oleh karena itu, satu alasan yang tidak banyak dikaji
para ahli dalam negeri adalah alasan Belanda mati-matian menjajah Indonesia
hingga 3,5 abad lamanya. Apalagi kalau bukan produk pertanian berupa
rempah-rempah dan sumber daya alam.
Raghib
As-Sirjani dalam bukunya Mustarak Insan menjelaskan bahwa Barat (Eropa)
mendatangi negeri-negeri Muslim dengan satu alasan penting, yakni begitu
besarnya khazanah dan kekayaan – khususnya minyak
bumi – Dunia Islam yang merupakan sumber energi dan bahan
baku terpenting yang dibutuhkan oleh industri Dunia Barat.
“Selama kebutuhan
Barat terhadap sumber-sumber kekayaan Dunia Islam sebagai salah satu elemen
pokok kebangkitan Eropa dan Barat masih ada – dan kian bertambah,
obsesi untuk menjamin ketersediaan – dan memonopoli
sumber-sumber kekayaan ini, pasti selalu ada di dalam pikiran bangsa-bangsa
Barat,” demikian tegas As-Sirjani.
Namun,
dengan pengalaman sejarah yang memalukan, terutama saat perang Salib, Barat
sangat sistematis dalam menjalankan misi-misi terselubungnya. Istilah-istilah
humanis pun menjadi cara-cara mereka dalam propaganda nilai dan pandangan
hidupnya. Sementara itu, dalam waktu bersamaan, istilah-istilah penting dalam
Islam digambarkan secara buruk melalui media massa. Pada akhirnya, umat Islam
terbelah dalam dua kutub berseberangan, dimana fakta tersebut, sesungguhnya
sangat merugikan umat Islam sendiri.
Sebagai
bukti, dahulu Belanda dengan kekuatan militernya menerapkan politik tanam paksa
di Indonesia. Pertanyaannya adalah mengapa politik tanam paksa ini
diberlakukan? Ada banyak jawaban, tapi satu hal yang perlu kita sadari,
Indonesia adalah negeri subur yang jika sektor pertaniannya digenjot dengan
serius, bukan mustahil Belanda akan menjadi pemasok kebutuhan pangan Eropa
bahkan dunia. Terbukti, dalam beberapa uraian sejarah, penerapan politik tanam
paksa kala itu menyelamatkan Belanda dari defisit anggaran.
Sekarang,
bangsa Indonesia mengalami krisis identitas, hingga sangat inferior. Bisa
dibayangkan, sekarang hampir sulit kita menemukan anak-anak Indonesia yang
bercita-cita atau bangga ingin menjadi petani. Tidak mengherankan jika produksi
pertanian termarginalkan dan sampai pada beras dan kedelai pun, negeri ini
memiliki ketergantungan tinggi pada impor.
Jadi,
ada cara pandang yang salah dalam menentukan arah pembangunan negeri ini. Eropa
memang berhasil membangun industri, tetapi mereka tetap butuh makan bukan?
Mengapa
Indonesia latah ingin menjadi negara industri, sementara lahan untuk memasok
kebutuhan pangan dunia tersedia begitu luasnya. Bukankah orang setiap hari
lebih butuh makan dibanding butuh produk industri?
Kemudian,
dari sisi sumber daya alam Indonesia sangat kaya luar biasa. Tetapi, kekayaan
sumber daya alam itu belum maksimal dalam membangun negeri ini. Bahkan, alam
dimana sumber daya alam itu bersemayam telah merana akibat abainya pemerintah
terhadap kondisi alam. Banyak danau-danau tidak diharapkan berserakan di hampir
seluas areal pertambangan. Yang lebih ironi, penduduk sekitar hanya menjadi
penonton dan tidak mendapat manfaat memadai dari kekayaan alam dimana mereka
tinggal di dekat lokasi. Justru mereka terancam secara kesehatan dan
keseimbangan alam.
Kemudian,
dari sisi pemikiran umat Islam diserang dengan liberalisasi pemikiran Islam.
Barat menitikberatkan pada adanya kebebasan individu secara tidak terbatas,
terutama pada bidang politik dan ekonomi.
Hamid
Fahmi Zarkasyi dalam bukunya Liberalisasi Pemikiran Islam menulis, “Sejak
tahun 1900-an, politik dan ekonomi liberal memiliki hubungan yang sangat erat.
Gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan bahwa setiap individu
harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya tanpa ada
campur tangan dari negara. Kaum liberal percaya, bahwa ekonimi akan melakukan
regulasi sendiri (the invisible hand). Atas dasar itu, campur tangan negara
tidak diperlukan lagi. Gagasan semacam ini diadopsi dari pemikiran-pemikiran
Adam Smith dan menjadi landasan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di
dunia saat ini.”
Dan,
dalam praktik kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, gagasan politik
dan ekonomi liberal itu sudah benar-benar nyata. Sebagai bukti, setiap
menjelang Ramadhan, harga kebutuhan pokok tiba-tiba melonjak.
Pertanyaannya,
saat Ramadhan siapakah yang paling diuntungkan secara ekonomi? Kemudian,
belakangan muncul banyak statement akrobatik para pejabat publik soal bagaimana
umat Islam memandang orang yang tidak berpuasa dan lain sebagainya.
Harus
disadari, ini adalah wujud nyata dari gagasan liberalisasi pemikiran dalam
wujud paling strategis yakni politik dan ekonomi, yang sejatinya telah lama
dilakukan Belanda di negeri ini. Dan, kini Indoensia harus menjadi ‘santapan’
konglomerat yang memiliki satu ideologi, yakni uang dan uang. Jadi wajar jika
segala instrumen yang memungkinkan negeri ini menjadi bersih dan lebih baik
akan segera dikeroyok untuk dilemahkan dan dimandulkan.
Oleh
karena itu, penting bagi umat Islam untuk sadar dan bergerak untuk bangkit.
Barat dengan pemikirannya tidak benar-benar berubah. Humanity, kebebasan dan
kesetaraan bagi mereka adalah alat mengusung keuntungan bagi kepentingannya
sendiri. Termasuk isu terorisme, isu ini benar-benar tidak mendatangkan apapun
bagi negeri kita selain kegaduhan yang sangat berpotensi menciptakan
perpecahan.
Dan,
sebagaimana Buya Hamka tegaskan dalam bukunya Falsafah Hidup, dimana setiap
pemuda harus menyadarinya adalah bahwa penjajah tidak pernah mengambil apapun
dari negeri ini, termasuk warisan budaya dan ilmu, melainkan untuk kepentingan
mereka sendiri. Bukan untuk kita bangsa Indonesia, apalgi umat Islam.
Demikianlah Barat dalam melihat dan memperlakukan Indonesia. Wallahu a’lam.[Hidayatullah]