IST |
Oleh
Monanda Permana
Kemudian, tangis Abi semakin menjadi-jadi setalah membuka
kertas putih yang Umi berikan padanya. Kertas itu berisi sebuah pengharapan
Umi. Dengan mata berlinang Abi membacanya perlahan penuh kekhusyu’an.
Kepada
Abi
Assalamu’alaikum
Wr,Wb
“Dan sampaikanlah
berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka
disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka
diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: ‘inilah
yang diberikan kepada kami dahulu’. Mereka diberi
buah-buahan yang serupa dan untuk meraka di dalamnya ada isteri-isteri yang
suci dalam mereka kekal di dalamnya” (Al-Baqarah:
25)
Sengaja
aku memulai menulis surat ini atas nama cinta kepada Ilahi Rabbi. Karena,
Dialah yang Menciptakan Bidadari-bidadari bermata yakut dan marjan. Dialah yang
mengalirkan sungai-sungai kejernihan dalam surga. Dialah penguasa setiap
dinding-dinding hati seorang hamba. Dia-lah yang Maha Memelihara cinta suci
yang tertuang indah dalam ayat-ayat-Nya. Dialah yang mengatur kapan dan di mana
air mata seoarang hamba berjatuhan membasahi bumi-Nya.
Atas
nama cinta suci berbalut sutra kasih sayang-Nya. Aku ingin sampaikan
kegelisahan hati yang selama ini aku simpan sendiri hingga sampai pada saatnya
engkau yang membukanya, Abi. Dan sekarang engkau membukanya.
Kebodohan
kala itu masih aku ingat, ketika jiwaku terjun melayang ke dalam jurang-jurang
kenistaan. Hidupku hancur. Bahkan aku tak mengenal siapa sebenarnya diriku
apalagi Tuhanku. Saat aku berada dalam kemiskinan akhirat, Allah Yang Maha Kaya
mengulurkan tali hidayah-Nya melalui kehadiranmu, Abi.
Dengan
penuh kesabaran, engkau membimbingku yang bodoh ini. Dengan penuh keikhlasan
engkau mengajariku untuk mengenal Tuhanku. Engkau tak pernah meAbia jijik
padaku walau noda-noda kotor melekat padaku. Engkau manusia berhati malaikat,
Abi.
Jika
engkau tahu, saat inilah air mataku menetes seakan enggan berhenti membasahi
pipiku. Ketika aku hanyut akan keberadaanmu, tiba-tiba engkau seakan hilang
ditelan masa. Sungguh, aku bisa mebiarkan pergerakan hatimu, Abi. Engkau
mencintaiku, bukan?. Engkau meninggalkanku karena engkau selalu tak pantas
untukku lagi-lagi karena harta, bukan?
Jika
memang itu alasanmu yang kuat. Maka, sengaja aku mengumpulkan sedikit demi
sedikit tabunganku agar engkau dapat memakainya, Abi. Jangan pernah tolak
permintaanku ini. Karena aku benar-benar berharap engkaulah yang akan menjadi
pendamping hidupku hingga wangi surga kita cium bersama.
Aku
akan menunda perjodohanku dengan pemuda itu sampai engkau datang meminangku,
Abi. Aku setia menantimu.
Wassallam
Umi
Malam
kembali datang membentangkan jubah hitamnya. Terlihat cahaya gemintang mulai
meredup karena terhalang awan-awan gelap. Angin malam meniup halus seorang
hamba yang sedang menyepi, bercengkerama dengan Rabbnya. Air matanya menetes di
atas sajadah. Pundaknya berguncang menahan kesedihan. Dalam doa berharap
kemudahan untuk menyusuri lorong-lorong kesukaran. Di tempat yang berbeda, Umi
memohon kemudahan kepada Ilahi dengan melantunkan surah Ar Rahman, semoga kasih
sayang-Nya mendekap keinginannya. Suara indahnya memecah keheningan malam. Dua
anak manusia mengikat cinta dalam keheningan malam.
Sebulan
kemudian, cahaya dhuha merebahkan kehangatannya melalui fajar yang menyingsing
di ufuk timur. Abi menengadahkan wajahnya ke langit mengikuti langkah cahaya
itu sebelum lenyap oleh kuasa rembulan. Tekadnya sudah bulat untuk beranjak
pergi dari Desa Kedung demi cinta yang bersarang pada sosok Umi. Abi pun harus
meninggalkan Desa Kedung, Umi, dan cintanya. Abi mencoba mencari peruntungan di
pulau seberang dengan bekal yang ia peroleh dari Umi. Abi melangkah pergi,
berlayar melintasi luasnya lautan yang biru menuju pulau harapan.
Angin
dari utara meniupkan kabar hingga sampai ke telinga Umi tentang kepergian Abi
ke pulau seberang. Kabar itu tak ubahnya seperti petir yang berdendang tanpa
mendung. Menyambar tanpa memerintah dan diperintah. Kabar itu membuat Umi
semakin terlelap dengan penderitaannya. Air matanya mengucuri dari
keteduhan sepasang jelita matanya. Cobaan yang menimpanya semakin membuat ia
terperangkap oleh jerat cinta Rabbnya. Ia gantungkan segala harapannya kepada
Sang Maha Pemilik langit dan bumi ini. Dalam diam ia memohon, dalam bertutur ia
meminta. Siang yang terik menemani Abia dahaganya karena puasa. Malam yang
dingin memelukya dalam kesepian untuk bermunajad.
“Abi akan kembali. Abi
akan datang untukku. Walau aku tak tahu kapan dan di mana”
Bisik hati Umi.
Setahun
telah berlalu. Musim kemarau merelakan penghujan membuat jejak-jejak baru di
atas bumi. Kesendirian semakin menyadarkan pentingnya kebersamaan. Tentunya
kebersamaan yang dilandasi oleh cinta. Bukan kebersamaan yang hampa; tanpa
embun cinta. Umi masih dalam kesendirian, sementara ayahnya sudah memaksanya
untuk secepatnya menikah dengan seoarang pemuda yang telah ia pilihkan.
“Umi, sebentar lagi
Amir datang bersama keluarganya. Ayah harap engkau mau menemui mereka”
Ujar Ayah Umi.
“Untuk apa mereka
kesini, yah?”
“Kamu ini bagaimana.
Ya tentu saja untuk membicarakan pernikahan kalian!”
“Ayah, sudah berapa
kali Umi bilang, Umi belum ingin menikah!”
“Lihat itu bu anakmu.
Mau sampai kapan dia seperti itu?” Ujar ayah Umi kepada
istrinya.
“Sudahlah, yah! Umi,
sayang. Sini nak!” Panggil Ibu Umi.
Umi
mendekat ke ibunya kemudian memeluknya.
“Ibu, kenapa Umi selalu
dipaksa menikah dengan Amir?” bisik Umi.
“Umi, ibu tahu engkau
tidak menyukai Amir. Tapi, ini semua juga untuk kebaikanmu, sayang. Ingat
usiamu, nak” jawab ibu Umi lembut.
“Iya, tapi kenapa
harus selalu dipaksa dengan dia. Apakah hanya karena dia orang kaya?, Ibu, Umi
tidak mengharapkan orang yang kaya di dunia tapi sangat miskin dihadapan Allah.”
“Bukankah Amir
laki-laki yang baik, sayang?”
“Tidak! Umi tahu benar
siapa dia, bu! Sewaktu Umi belum seperti ini. Umi pernah melihat dia bersama
teman perempuan Umi, bu.”
“Lalu, apa yang engkau
inginkan, nak?”
“Umi tetap menolak!”
Jawab Umi mantap.
Di
tempat yang berbeda dan jauh dari hiruk pikuk rencana pernikahan, seorang
pemuda berwajah rupawan dan bersih sedang mempersiapkan keberangkatannya untuk
kembali pulang ke Desa yang selama ini ia tinggalkan. Sesekali ia pandangi
secarik kertas yang selalu ia simpan di dalam kantong berwarna coklat tua. Jika
kerinduan akan gadis itu kembali datang, maka kertas itulah yang mampu
mengobati kerinduannya kepada gadis itu.
“Hai..Apa itu, Abi?”
Suara seorang pria mengejutkan Abi.
Sesegera
mungkin Abi menyembunyikan kertas itu dari pandangan seseorang yang
mengejutkannnya.
“Ah, tak ada, Bur”
“Halah, pasti itu
sebuah surat, bukan? Sepertinya begitu” ujar Burhan sambil
tertawa.
Abi
hanya tersenyum tipis.
“Eh, kapan rencanamu
pulang ke kampung, Abi?” Tanya burhan mengalihkan pembicaraan.
“Insya Allah dua
minggu lagi.”
“Pasti banyak yang
merindukanmu di kampung ya?”
“Tidak bur. Aku sudah
tak mempunyai siapa-siapa di dunia ini, selain aku hanya berharap belas kasih
dari Allah.”
“Kalau begitu mengapa
engkau harus bersusah payah pulang ke kampung, sementara engkau tak memiliki
sanak saudara di sana. Lebih baik engkau di sini saja, Abi. Barangkali engkau
bisa lebih sukses dari sekarang ini.”
“Tidak, Bur. Seseorang
sudah menungguku di sana. Aku ingin kembali kesana membawa kabar gembira
untuknya.” Ujar Abi sambil memasukkan pakaiannya ke dalam tas
besar berwarna hitam.
“Siapa, Abi? Seorang
perempuan?”
“Tolong lempar kesini
baju warna biru di sebelahmu itu, Bur!” Perintah Abi kepada
Burhan “Iya, dia seorang perempuan. Dia yang menungguku, Bur.”
Sambungnya seraya melipat-lipat baju yang hendak dimasukkan dalam tas.
“Jadi, engkau pulang
ke kampung untuk menikah dengannya?”
“Memang, sudah hampir
setahun kami tidak bertukar kabar. Tapi, kuharap tetap bisa menikahinya.”
Di
balik jendela kamar, Umi memandangi hujan yang saling berkejaran hingga
akhirnya saling berpeluk dengan bumi. Seakan deAbi hujan itu melukisakan
raut wajah Abi. Seorang yang telah lama menghilang tanpa ada secuil kabar yang
ia kirim untuknya, sehingga membuatnya larut dalam kerinduan yang teramat
sangat pada sosok Abi. Kerinduan pada sosok Abi ia tumpahkan di atas kertas
putih yang tergores oleh tinta hitam. Umi menulis surat untuk Abi. Sebuah surat
yang rencananya akan ia titipkan kepada Pak Udin, seorang petani Desa yang
pernah mengantarkannya bertemu dengan Abi.
Sejak
terjadi pertemuan dua keluarga beberapa hari yang lalu, membuat hidup Umi
berubah. Dia lebih sering mengurung diri di dalam kamar, bahkan enggan
untuk bercakap-cakap dengan orang lain. Kesan kesegaran yang biasa ia tampakkan
kini mulai layu. Bahkan senyumnya yang sangat khas hilang sama sekali. Ia
jarang makan hingga membuat badannya mulai terlihat kurus. Pada akhirnya Umi
pun tergeletak sakit.
“Umi..Umi.!”
Seru ibunya dari balik pintu kamar.
“Ya”
Jawab Umi singkat.
“Makan dulu, sayang!
Sudah beberapa hari kamu belum makan, nak. Ini sekalian ibu bawakan obat
untukmu.” Rayu Ibunya.
“Tidak. Umi tidak
lapar bu.”
“Nak, buka pintunya
ibu ingin bicara sama kamu!”
“Umi masih ingin
sendiri, bu. Ibu letakkan saja makanan sama obatnya di depan pintu.”
Dalam
kesendirian, Umi kembali mengurai air matanya yang terus mengucur deAbi. Hanya
kepada Allah Yang Maha Lembut Umi mengadukan segala persoalan yang melandanya. “Ya
Allah, kuserahkan segala urusanku yang aku tak tahu dimana ujung penyelesainnya
hanya kepada-Mu. Wahai Rabb pemilik Arsy yang mana para Malaikat senantiasa
berzikir kepada-Mu. Tenggelamkanlah segala kesusahan yang menimpa diriku dan
jika Engkau berkehendak timbulkan segala kemudahan untukku, Ya Rabb. Wahai Rabb
Yang Maha Besar kasih dan cinta-Nya kepada semua makhluk, serta yang
menumbuhkan cinta ke dalam diri setiap makhluk. Sungguh, aku rela jika Abia
cinta yang ada dalam diriku engkau cabut bilamana cintaku terhadap makhluk-Mu
lebih besar daripada cintaku kepada-Mu.” Tersungkurlah wajah
Umi di atas sajadah.
Di
Desa tak banyak berubah setelah beberapa lama ditinggalkan salah seorang
penduduknya. Hanya musim yang telah berubah. Manakala dulu musim kemarau,
sekarang telah berubah musim penghujan. Seorang pemuda yang telah lama
menghilang dari Desa itu, kini kembali pulang. Pemuda itu berjalan menyusuri
hamparan sawah hingga para petani yang sedang sibuk mengurusi sawahnya
mengalihkan perhatiannya kepada pemuda itu. Tak lama kemudian, salah seorang
petani berteriak sambil berlari menuju ke arah pemuda itu.
“Abi..Abi..!”
Kemudian
Abi mengarahkan pandangannya ke sumber suara yang berteriak memanggil namanya
dari arah belakang.
“Assalamu’alaikum,
Abi. Akhirnya engkau pulang juga.”
“Wa’alaikumussalam,
Pak Udin. Ada apa Pak?”
“Begini, Abi. Seminggu
yang lalu ada seseorang laki-laki yang mencarimu seraya menitipkan ini untuk
disampaikan padamu.” Ucap Pak Udin sambil menunjukkan sebuah surat.
“Seorang laki-laki?
Siapa ya, Pak? Lalu, apa ada pesan dari beliau?”
Tanya Abi sambil mengambil surat yang disodorkan oleh Pak Udin.
“Aku tak tahu, Abi.
Dia tidak berpesan apa-apa kecuali hanya sedikit bercerita kepadaku jika
anaknya telah tiada dan surat yang kau pegang itu ia temukan di dalam kamar
anaknya. Begitu saja, Abi.”
“Baiklah kalau begitu.
Saya segera membacanya di rumah, Pak.”
Gumpalan
awan gelap telah terlihat di atas Desa itu, tak lama lagi hujan akan turun. Abi
bergegas untuk segera pulang sebelum hujan mengguyurnya. Sesampai di rumah, Abi
segera membuka surat yang ia peroleh dari Pak Udin. Dan hujan pun turun dengan
lebatnya.
Kepada
Abi
Assalamu’alaikum
Wr,Wb
“Dan apabila kamu
melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan
dan kerajaan yang besar.” (Qs:Al-Insaan:20)
Abi,
Aku menulis surat ini ketika hujan mengurai keindahannya. Ketika aku
memandanginya terlukis raut wajahmu di antara hujan yang saling berkejaran.
Engkau pergi tak menitipkan kabar sedikitpun padaku, Abi. Selalu saja engkau
ingin menjauh dariku. Tapi, aku selalu mencoba menjadi wanita yang ikhlas untuk
kehilanganmu.
Abi,
pernah suatu malam aku bermimpi duduk di bawah pohon yang begitu rindang, dan
di sebelahnya mengalir sungai yang sangat jernih. Kemudian, aku alihkan
pandanganku ke arah padang rumput hijau yang begitu luas dan indah. Semilir
angin membuatku teAbia sejuk. Tak lama kemudian, muncul seorang laki-laki
berwajah mirip denganmu, Abi. Laki-laki itu datang bersama dua wanita yang
sangat cantik, kecantikannya tak pernahku lihat sebelumnya. Kemudian laki-laki
itu duduk di sebelahku dan berkata jika ia hendak menikahiku. Oh..Begitu
indah yang aku Abaikan dan begitu syahdu janji yang ia ucapkan padaku.
Aku
mengira laki-laki itu adalah dirimu, Abi. Tapi, tidak mungkin engkau meminangku
di dunia ini, karena umurku tak akan lama lagi. Mungkin mimipi itu adalah
isyarat jika engkau akan meminangku di Surga Taman Firdaus.
Aku
masih menantimu, Abi.
Wassalam
Umi
Abi
masih memandangi surat terakhir yang ia terima sebelum hujan turun membasahi
Bumi Allah. Kini, di beranda rumah bilik bambu seakan Abi yang melihat raut
wajah Umi di antara hujan yang saling berkejaran. Wajah Umi tampak bercahaya
dan membawa senyum kedamaian yang ia kirim dari Taman Firdaus. Air mata Abi
menetes. Ia lipat surat terakhir dari Umi, kemudian ia pandangi langit dan
berkata.
“Selamat tinggal Umi.
Aku akan selalu merindukanmu yang kini telah menjadi bidadari surga dalam Surga
Taman Firdaus.”