IST |
Oleh Monanda Permana
Sebuah Desa bermandikan air hujan, udara dingin menyatu bersama harum tanah
yang timbul akibat guyur hujan lebat. Pohon-pohon rindang menari menyambut
gembira air keberkahan yang turun dari langit. Sesekali terdengar nyanyian
burung-burung yang berlindung dalam peluk dedaunan. Geliat alam begitu hidup di
Desa kecil itu.
Di
beranda rumah bilik bambu, seorang pemuda berdiri dan menyandarkan lengannya di
tiang kayu penyangga rumah bilik bambu itu. Terlihat wajahnya memancarkan
cahaya kesedihan. Hingga nyanyian alam pun tak mampu menghibur pemuda itu.
Surat yang ia terima sebelum guyur hujan membasahi ranting-ranting kering telah
merubah keteduhan wajahnya menjadi kemuraman.
Pagi
itu sang surya memancarkan sinar kehangatan karena patuhnya kepada Sang
Pencipta. Kehangatan mentari pagi mengiringi langkah kaki seorang gadis bernama
Umi yang sedang berjalan di antara pemandangan sawah yang terhampar luas.
Hembus semilir angin meniup wajah cantiknya, seakan ingin menyapa.
Hamparan
sawah melambai kepadanya, seakan hendak berkenalan dengan gadis bermata jelita
itu. Terlihat beberapa petani sudah mulai bergelut dengan sawah mereka
masing-masing. Keharmonisan hidup antar sesama makhluk masih terlihat jelas
alam dan manusia.
Gadis
bermata jelita itu baru pertama kali menginjakkan kakinya di Desa tersebut.
Desa itu asing baginya untuk sekedar mencari rumah seseorang bernama Abi. Dia
pun mencoba mencari informasi di mana rumah Abi kepada seorang petani yang
sedang duduk di sebuah gubuk.
“Assalamu’alaikum,
Pak.” Salam gadis itu kepada seorang petani yang duduk di
sebuah gubuk.
“Wa’alaikumussalam”
Jawab petani itu.
“Maaf Pak, boleh saya
numpang bertanya?”
“Oh iya silahkan. Mau
tanya apa, nak?” Jawab ramah petani itu.
“Hmm.. Bapak tahu
rumah Abi?.”
“Abi?”
Petani itu mengerutkan dahi.
“Dia baru pindahan
dari kota, pak. Kalau saya tidak salah dia pindah kesini sebulan yang lalu.
Bapak tahu? Ujar gadis itu.
“Waduh, saya tidak
tahu nak. Apalagi dia orang baru di sini.”
“Oh. Mungkin teman
saya itu tahu” petani itu menunjuk ke arah temannya yang sedang
menyiangi sawah.
“Din..Udin. Kemari!”
Teriak petani itu memanggil temannya yang sedang menyiangi sawah.
Tak
lama kemudian, teman petani itu sudah berdiri di hadapan gadis bermata jelita
itu.
“Begini Din. Mbak ini
mau tanya rumah Abi, apakah kamu tahu?” Tanya petani itu
kepada temannya.
“Iya, Pak. Saya mau
tanya rumah Abi. Dia baru pindahan dari kota.”
Sambung gadis itu.
“Ohh.. Abi yang baru
pindahan dari kota itu ya. Iya saya tahu. Ayo, biar saya antar langsung
kerumahnya saja mbak.” Jawab teman petani itu.
Gadis
bermata jelita itu tampak begitu anggun dengan kerudung merah yang membalut
kulit putihnya. Langkahnya begitu tegap ketika kedua kakinya mengayun membelah
luasnya hamparan sawah. Tiba-tiba lagkah kakinya terhenti setelah sepasang mata
jelitanya melihat sebuah rumah bilik bambu yang ditunjuk oleh seseorang yang
mengantarkannya tadi.
“Nah. Itu rumahnya,
mbak,” ujar seorang yang mengantar gadis itu.
“Yang ada pohon
jambunya itu, pak?”
“Iya benar. Di situ
rumah Abi, mbak. Maaf, saya cuma bisa mengantar sampai di sini.”
“Oh iya tak apa,
Pak. Maaf sudah banyak merepotkan bapak.”
“Ah, tidak mbak. Kalau
begitu, saya kembali ke sawah dulu ya mbak.”
“Iya. Terima kasih,
pak.” Jawab Umi dengan senyum tulus.
Gadis
itu masih berdiri terpaku dalam kebisuan ketika matanya mengarahkan
pandangannya tepat di rumah bilik bambu itu. Pohon jambu yang berdiri kokoh di
depan rumah bilik bambu turut membisu seakan telah mendengar bisik hati gadis
berwajah bersih itu. Koloni semut merambat membangun istana di antara
dahan-dahan pohon. Ikhlas penuh kecintaan. Tidak ada kebencian untuk berbagi
nikmat yang telah Allah SWT taburkan.
Sungguh,
gadis itu tak kuasa untuk menahan pergerakan nurani yang berusaha menuntunnya
hingga bertemu dengan pria yang pernah meneteskan embun-embun cinta dalam
hatinya. Tapi, ini bukan perkara yang mudah untuk ikhlas mengikuti nuraninya.
Karena bukan kabar gembira yang ingin ia sampaikan kepada pria itu.
Sejurus
kemudian, gadis berparas cantik itu melangkahkan kakinya menuju rumah bilik bambu
itu seraya membawa bunga yang ia petik dari taman-taman kerinduan.
“Assalamu’alaikum”
Salam gadis itu.
“Wa’alaikumussalam.
Siapa?” Suara seorang pria dari dalam rumah.
Gadis
itu hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya untuk menjawab pertanyaan
seorang pria yang ada dalam rumah itu. Hingga pria dalam rumah itu melihat
sendiri siapa yang muncul di hadapannya. Tidak lama kemudian dibukakan pintu
rumah itu. Terlihatlah wajah penuh keteduhan menyembul dari balik pintu.
“Aku Abi”
Jawab Umi setelah pemuda itu membuka pintu.
“A..Umi!”
pria itu terkejut. “Subhanallah, benar kamu Umi?”
sambung pria itu.
“Kamu benar Abi. Aku
Umi!” Jawab Umi sambil menundukkan wajah.
Abi
diam. Hatinya bergoncang hebat setelah mendengar suara yang telah lama hilang
dari hidupnya. Kini, suara itu hadir kembali. Suara indah yang pernah ia dengar
saat berada dalam taman Quran. Hati yang telah lama kerontang seakan kembali
basah oleh guyuran air surga.
“Abi!”
Ucap Umi.
Abi
terkejut oleh suara Umi, setelah beberapa saat ia hanyut dalam lamunan.
Sesegera mungkin ia bangkit dari lamunan.
“Oh iya, mari masuk
dulu ke rumah. Agaknya engkau terlampau letih setelah berjalan cukup jauh”
Ujar Abi.
“Tidak Abi. Aku tak
bisa berlama-lama di sini,” jawab Umi. “Aku
datang ke sini hanya untuk memberitahumu kalau aku….”
“Kalau apa Umi?”
“Kalau aku telah
dijodohkan oleh ayahku. Aku dijodohkan dengan seorang pemuda yang jauh cintanya
kepada Tuhanku.” Jawab Umi dengan suara bergetar.
Perkatakan
Umi sontak membuat jantung Abi seakan berhenti. Kedua telinganya mendengung ke
Abi. Ia tak bisa menyembunyikan hatinya yang hancur berkeping-keping. Kehadiran
Umi hanya membawa kesejukan sesaat. Setelah itu ia membuat hati Abi kembali
kerontang. Bagaimana wanita yang selama ini ia cintai harus berlabuh pada
dermaga cinta pemuda lain. Dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar, Abi
berkata.
“Umi, jika itu
permintaan ayahmu maka terimalah. Percayalah, setiap orang tua selalu
menginginkan yang terbaik bagi anaknya.”
“Tidak!”
Bantah Umi.
“Lalu apa yang engkau
inginkan, Umi?”
“Abi. Memang, ayahku
selalu menginginkan jodoh untukku dari kalangan orang kaya. Tapi bagiku, apalah
arti hidangan lezat yang bisa aku nikmati di meja makan sewaktu-waktu jika
kelak aku menjadi orang yang paling lapar di negeri abadi. Dengan segala
kerendahan hati yang aku miliki. Aku memohon kepadamu, tolong temui ayahku dan
pinang aku, Abi. Cobalah Abi!”
Abi
hanya diam. Permintaan Umi membuatnya bimbang. Suasana kembali sunyi. Daun-daun
kering yang ditiup angin menuju ke arah mereka.
“Jawab, Abi!”
Sambung Umi setelah melihat Abi terdiam beberapa saat.
“Maafkan aku, Umi. Aku
tak ingin dikatakan sebagai orang yang angkuh karena menolak permintaanmu.
Tapi, engkau tahu sendiri jika aku hanyalah seorang yang miskin. Sedangkan
ayahmu begitu menginginkan seorang pendamping bagimu dari kalangan terpandang.”
“Jadi engkau menolak
permintaanku, Abi?”
Abi
hanya mengangguk. Wajahnya tertunduk, matanya berkaca-kaca, dan bibirnya seakan
terkunci rapat.
“Baiklah kalau engkau
menolak permintaanku. Tapi….”
Ujar Umi sambil membuka tas hitam yang ada di lengannya.
“Tapi, engkau harus
menerima ini Abi” sambung Umi sambil menunjukkan kertas putih
tebal berbentuk lipatan persegi yang ia ambil dari tasnya.
“Apa itu, Umi?”
“Ambil saja, Abi!”
Jawab Umi seraya mengulurkan tanggannya memberikan kertas berwarna putih itu.
“Maaf, tidak usah,
Umi!” Jawab Abi lirih.
“Terimalah! Kalau
engkau tidak terima, aku tak akan beranjak pergi dari rumahmu ini!”
Terpaksa
Abi menerima kertas putih yang diberikan Umi. Kemudian, Umi beranjak pergi dari
hadapan Abi. Dengan wajah berkabut ia meninggalkan Abi seraya membawa harapan
besar agar Abi berkenan menemuinya kelak. Entah bagaimana caranya, dan di mana
tempatnya. Umi meningalkan Abi dengan air mata yang menetes membasahi pipinya.
Angin berhembus lebih syahdu. Seakan ada nyanyian iba bersamanya.
Sementara
itu di dalam rumah bilik Abi tampak menangis tersedu-sedu. Kehadiran Umi pagi
itu membuatnya meratap karena hati yang dilanda nestapa. Keteduhan Umi
berisyarat akan kelembutan hatinya. Betapa Abi mencintai Umi dengan segala
kekurangan yang ia miliki. Haruskah cinta yang suci dari Yang Maha Suci
ternodai oleh sifat materialistis manusia. Haramkah jika cinta tersentuh oleh
tangan kemelaratan. Hati Abi berteriak keras.
Bersambung....