LHOKSUKON – Pelaksanaan kegiatan Seminar yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Pemberdayaan Pemuda Aceh (FKPP-Aceh) berjalan tertib, aman dan lancar, Sabtu (09/5/2015). Seminar yang bertema “Menakar Proses Reintegrasi Pasca Menjelang 10 Tahun MoU Helsinki” itu berlangsung di Balai Panglateh Lhoksukon, Aceh Utara.
Sementara itu, kegiatan teersebut juga didukung oleh dua lembaga lainnya di Aceh yaitu LSM Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia (KCBI) dan LSM Gerakan Rakyat Aceh Membangun(GRAM). Seminar yang berlangsung pada pukul 09:00 wib s/d 13:00 WIB juga diberi kesempatan oleh panitia untuk berdiskusi.
Dalam sambutannya, Ketua Panitia Razali SKM yang juga Ketua DPP FKPP-Aceh, mengatakan, bahwa Proses reintegrasi Aceh pasca MoU Helsinki antara Pemerintah RI dengan GAM yang ditanda tangani pada 15 Agustus 2005 silam dinilai belum berjalan maksimal. Dan masih belum menyentuh sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat Aceh.
“Padahal, pada era kesepakatan damai Helsinki antara Pemerintah Aceh dengan GAM, banyak mantan kombatan GAM yang berkesempatan jadi anggota parlemen dan pemimpin daerah. Seharusnya, dengan peran yang besar itu, menjadi pendorong strategis bagi percepatan proses reintegrasi mantan kombatan GAM,” katanya.
Sementara Kabid Kelembagaan Kesbangpolinmas Aceh Utara, Hamdani, dalam sambutannya mengatakan, pihaknya mengucapkan selamat dan sukses kepada FKPP Aceh serta yang mendukungnya yaitu KCBI dan GRAM yang telah senantiasa menggelar kegiatan seminar ini.
“Selamat dan sukses kepada FKPP Aceh dan yang mendukungnya. FKPP Aceh ternyata telah membuktikan kinerjanya untuk aktif membuat segala kegiatan, seperti kegiatan yang telah diselenggarakan ini,” katanya dalam sambutan.
Kemudian dilanjutkan dengan materi seminar yang disampaikan oleh Amrizal J. Prang SH, LLM Amrizal J. Prang (pemateri Dosen Hukum Unimal). Berbicara masalah kebijakan Aceh tentu dibuat oleh pemerintah baik pusat maupun Aceh. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan tersebut.
“Kebijakan itu kini diatur didalam qanun. Pemerintah bebas membuat qanun apa saja namun pada kenyataan untuk saat ini apakah qanun-qanun itu dilaksanakan oleh masyarakat. MOU menjadi landasan utama politik di Aceh dan UUPA menjadi dasar hukum untuk membangun bangsa Aceh. Konflik adalah perbedaannya pendapat yang memicu terjadinya kekerasan terutama di Aceh,” jelas Amrijal J Prang.[chairul]