Bangsa
yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya dan menghormati jasa
para pahlawannya. Para pahlawan itu sendiri sesungguhnya merupakan tokoh-tokoh sejarah
yang telah mengorbankan jiwa-raga untuk kebesaran dan kejayaan bangsa dan
negaranya. Itulah sebabnya mengapa mereka pantas diteladani sifat dan perilaku
yang telah ditorehkan dalam sejarah, serta mengenang jejak-jejak pengabdiannya
bagi negera. Maka tak heran, kebanyakan orang mengatakan sejarah adalah
cerminan untuk masa depan bagi semua orang, terutama bagi generasi muda sebagai
pewaris perjuangan dan pengisi hasil perjuangan.
Terlepas
dari pro dan kontra, Teuku Nyak Arif manusia yang seluruh hidupnya diserahkan
mutlak bagi Aceh dan kebesaran bangsa yang peduli terhadap kesejahteraan rakyat
Aceh. Dia tidak pernah berfikir kapan namanya ditulis di lempengan emas, atau di
atas prasasti. Dia tidak pernah berfikir namanya akan jadi kontroversial di hari
kemudian. Satu yang ada di jiwanya: Bagaimana seluruh pelosok Aceh, dan rakyat
menikmati kesejahteraan yang berkeadilan, adil dan makmur serta menjaga warisan
nenek-moyangnya.
Terlalu
sedikit tempat dan waktu untuk menuliskan kegagahan dan kebijaksanaan Teuku
Nyak Arif dalam memimpin Aceh selama masa hidupnya. Kalau kita mau jujur, kita
seharusnya bangga dan berbesar hati memiliki kakek moyang seperti Teuku Nyak
Arif ini. Sebagaimana yang pernah dituliskan oleh Muhammad Said dalam salah
satu karyanya; “Bagaimanapun jasa Teuku
Nyak Arif dalam perjuangan kemerdekaan tidak dapat diremehkan. Bahwa ia
diungsikan ke Takengon dan meninggal di sana tidak boleh dilihat dari prasangka
bahwa jasanya tidak ada lagi. Kita banyak membaca riwayat-riwayat revolusi, bahkan
revolusi Perancis sendiri, betapa orang berada paling depan mengalakkan
revolusi telah dinilai sebaliknya. Memang sejarah bisa membiarkan tertutup
dengan riwayat-riwayat yang benar faktanya. Tetapi kalau itu masih lapang waktu
kenapa harus membiarkan seseorang diselimuti kabut-kabut yang melindungi
kebenaran.” Satu diantaranya Nyak Arif.
Cerita
keindahan dan kejayaan masa lalu, sebagaimana pun menarik dan menggugah emosi,
tetaplah cerita yang tak bisa dijadikan apa-apa. Teuku Nyak Arif yang sampai
kini masih terdapat kontroversi dan belum terkuak sejarah lainnya, bukanlah
Teuku Nyak Arif yang membuat semua orang terpukau di era hidupnya. Kendati
demikian, mungkin pada masa yang akan datang sejarah tentang Teuku Nyak Arif
bisa lebih terbuka.
Atau, suatu
saat nanti, (mungkin) sejarah Nyak Arif akan terbuka secara perlahan-lahan
layaknya cahaya bulan yang membuat bumi menjadi indah dengan keberadaannya
kadang nampak dan terkadang tertutup oleh awan. Hingga saat itu tiba, yang bisa
dilakukan memang hanya berpegang pada ingatan tentang jejak seorang Teuku Nyak
Arif. Kita tahu bahwa, bukankah sejarah itu tidak akan pernah final.
Nyak Arif dan Ingatan
yang Terpahat
Teuku Nyak
Arif, namanya telah menunjukkan bahwa dia merupakan seorang bangsawan Aceh. Ia
dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1899 di Ulee Lheue, Banda Aceh. Teuku Nyak Arif
adalah anak dari pasangan suami istri yang kebetulan sama-sama berasal dari
Aceh. Ayahnya bernama Teuku Nyak Banta, dengan nama lengkapnya Teuku Sri Imeum
Nyak Banta, seorang Panglima (kepala daerah) Sagi XXVI Mukim. Ibunya bernama
Cut Nyak Rayeuh, bangsawan di daerah Ulee Lheue pula, tempat dimana Nyak Arif
dilahirkan. Teuku Nyak Arif adalah anak ketiga dari lima orang saudara
sekandung, 2 laki-laki dan 3 perempuan. Saudara tirinya yang dilahirkan dari 2
orang isteri ayahnya yang lain, 3 perempuan dan 2 laki-laki.
Teuku Nyak
Arif setelah menyelesaian Sekolah Dasar di Kuta Raja, pada tahun 1908
meneruskan ke Sekolah Guru/Raja (Kweekschool) di Bukit Tinggi jurusan Pamong
Praja (pemerintahan). Nama Teuku Nyak Arif pada saat itu sangat terkenal di
kalangan murid-murid sekolah Kweekschool tersebut. Nama baik Nyak Arif tersemat
dan terpahat sebagai teladan yang baik dalam hati segenap murid-murid yang
berasal dari berbagai pulau Sumatera. Sifat dan sikapnya yang cekatan serta
tutur kata yang indah dan ringkas namun tegas, telah menjadi perhatian di
sekolah, bahkan sudah menjadi ciri khas seorang Nyak Arif.
Di sekolah
Teuku Nyak Arif tersebut, peserta didik yang berasal dari Aceh tidak hanya Nyak
Arif seorang. Selain Nyak Arif, beberapa murid dari Aceh yang menuntut ilmu di
sekolah Kweekschool seperti, Mahmud, Said Abdul Aziz, Raja Ibrahim, Rahman,
Alibasya, Rayeuk, Idris. Semua orang ini bergelar Teuku seperti halnya Teuku
Nyak Arif. Setelah menyelesaikan Sekolah Raja di Bukit Tinggi, Teuku Nyak Arif
melanjutkan pendidikannya ke sekolah lain. Pada tahun 1912, Teuku Nyak Arif melanjutkan
sekolah ke OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Banten.
Di sekolah
yang baru ini, Nyak Arif mencoba mematangkan diriya dengan mengisi berbagai
pengetahuan dan pengalaman yang ia dapat. Tak heran, Nyak Arif pun terlihat
semakin matang, terutama di bidang politik. Selama menuntut ilmu di Banten,
Nyak Arif memperdalam ilmu dibidang pramong praja sebagai lanjutan dari sekolah
di Bukit Tinggi. Disinilah kelihatan kalau Teuku Nyak Arif adalah seorang yang
cerdas, bahwa ia benar-benar mendalami disiplin ilmu yang ia tekuni sejak
semula dari Bukittinggi sampai ke Banten.
Tampilnya Teuku Nyak
Arif
Sewaktu
masih sekolah diluar Aceh, Teuku Nyak Arif menunjukkan dua rupa wajahnya. Di
satu sisi, Nyak Arif memiliki sifat yang tidak mau tunduk kepada Belanda. Di
sisi lain, Nyak Arif memperlihatkan sifat yang begita ramah kepada teman-teman
sekolahnya. Pada tahun 1915, Nyak Arif selesai sekolah di Banten dan pulang ke
Aceh setelah sekian lama berpertualangan dan menuntut ilmu di negeri orang.
Pada tahun 1918-1920, Teuku Nyak Arif bekerja sebagai pegawai urusan distribusi
makanan beras rakyat. Selain itu, ia juga mengikuti kegiatan politik. Tahun
1918 masuk organisasi Nationale Indische Partij (NIP) yang mulanya bernama
Insulinde yang diketuai oleh Douwes Dekker, dkk di Jakarta.
Di Aceh
Teuku Nyak Arif tercatat sebagai orang yang terkemuka, mempunyai pengaruh besar
di kalangan masyarakat. Kecakapannya sebagai orang keluaran OSVIA tampak
menonjol, terutama didukung oleh keberaniannya menghadapi pembesar-pembesar
Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 16 Mei 1927 atas usul residen Aceh ia
diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Di samping itu pekerjaannya
sebagai Panglima Sagi XXVII tetap ia jalankan dengan baik. Sebagai anggota
Volksraad ia lebih banyak tinggal di Aceh daripada di Jakarta.
Di
sidang-sidang Volksraad ia selalu menunjukkan kecakapan dan keberaniannya
terutama dalam mengeritik kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda. Lebih khusus
lagi ketangkasannya menghadapi orang-orang Belanda anggota-anggota Volksraad
yang reaksioner. Seringkali nama Teuku Nyak Arif muncul dalam laporan-laporan
perdebatan di Volksraad di dalam surat kabar. Ia terpuji sebagai, “anak Aceh
yang berani dan lurus” seperti ditulis dalam laporan harian Bintang Timur. Ia mampu menandingi orang-orang
Belanda yang terkenal piawai berolah kata di Volksraad seperti Mr. Drs. Fruin,
Lighart dan Zentgraaf, wartawan ulung yang amat terkenal pada zamannya.
Dalam tahun
1931 berakhirlah keanggotaan Teuku Nyak Arif dalam Volksraad. Ia kembali ke
pekerjaannya sekaligus giat dalam perjuangan rakyat di Aceh. Berbagai langkah
dan tindakannya senantiasa menuju kepentingan dan keringanan rakyat, bahkan
pembelaan terhadap nasib rakyat kecil. Sekalipun kejadian tidak di wilayah
kekuasaannya, namun Nyak Arif tidak segan-segan bertindak. Dialah satu-satunya
Ulebalang (Panglima) yang amat disegani baik oleh rekan-rekannya maupun oleh
Belanda.
Pada tahun
1939 di Aceh berdiri Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA) yang diketuai oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh. PUSA
mengadakan hubungan dengan Jepang di Malaya sejak 1940-1942. Kemudian Jepang
mempergunakan PUSA untuk melemahkan Belanda di Aceh dengan segala jalan. Teuku
Nyak Arif prihatin melihat langkah-langkah PUSA dan menganggapnya sebagai suatu
kemunduran bagi pergerakan nasional.
Keadaan
makin lama makin memuncak. Pada 8 Maret 1942 residen Aceh mengadakan pertemuan
politik dengan Tuanku Mahmud dan Teuku Nyak Arif. Permintaan Nyak Arif agar
pemerintah diserahkan kepadanya ditolak oleh residen. Pertemuan lanjutan pada
10-11 Maret 1942 diundang 9 pemimpin-pemimpin Aceh, namun Nyak Arif tidak
hadir. Ternyata 8 orang pemimpin yang hadir semuanya ditangkap. Rumah Nyak Arif
di Lamnyong diserbu, namun Nyak Arif tak diketemukan dan keluarganya sempat
meninggalkan rumahnya sebelum diserbu Belanda. Kolonel Gozenson panglima
militer di Aceh berusaha sungguh-sungguh untuk menangkap Nyak Arif, tapi tidak
berhasil. Pemimpin-pemimpin lainnya, Cut Hasan Mauraxa, Hanafiah dan Raja
Abdullah berhasil ditangkap.
Pada 12
Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Sabang, kemudian Mayor Jenderal Overakker
dan Kolonel Gazenson menyerah kepada Jepang pada 28 Maret 1942. Sementara itu,
rakyat telah membentuk “Komite Pemerintahan daerah Aceh” dengan Teuku Nyak Arif
sebagai ketuanya. Jepang mengatur pemerintahan di Indonesia dengan pembagian
yang berbeda dengan Belanda. Salah satunya Sumatera dibagi menjadi 9
karesidenan, semuanya dikepalai oleh residen Jepang (Cookang). Di Aceh Jepang
menggunakan kaum Uleebalang dalam pemerintahan. Hal ini menimbulkan kekecewaan
kepada PUSA yang merasa berjasa kepada Jepang, tetapi hanya dipakai untuk
bidang keagamaan.
Teuku Nyak
Arif menempuh jalan kerjasama dengan Jepang. Ia diangkat menjadi penasehat
pemerintahan militer Jepang. Sebenarnya Nyak Arif tidak menaruh kepercayaannya
kepada Jepang. Ucapannya yang terkenal ialah: “Kita usir anjing, datang babi
(talet but, ta peutamong ase).” Belanda pergi Jepang datang, demikianlah maksud
ucapan itu. Dua-duanya sama-sama busuknya. Nyak Arif memang disegani oleh
Jepang. Meskipun ia keras dan banyak bentrok dengan pejabat-pejabat Jepang
sipil dan militer, namun pemerintah Jepang mau tidak mau harus memperhitungkan
dia sebagai pemimpin rakyat Aceh yang besar pengaruhnya. Pada tahun 1944 Nyak
Arif dipilih menjadi wakil ketua “Sumatera Chuo Sangi In” (Dewan Perwakilan
Rakyat seluruh Sumatera) yang diketuai oleh Moh. Syafei. Ia berpendirian,
kerjasama dengan Jepang harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat.
Kekalahan
Jepang dalam Perang Dunia II disampaikan oleh Chokang Aceh S. Ino kepada
pemimpin-pemimpin Aceh, Teuku Nyak Arif, Panglima Polim dan Tengku Muhammad
Daud Beureueh, katanya: “Jepang telah berdamai dengan Sekutu.” Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia terdengar di Aceh yang disampaikan oleh 2 orang pemuda
kepada Teuku Nyak Arif, kemudian didapat berita-berita radiogram dari Adinegoro
di Bukittinggi. Pemimpin-pemimpin rakyat mengadakan pertemuan dan membentuk “Komite
Nasional Indonesia” (KNI) pada tanggal 28 Agustus 1945. Teuku Nyak Arif dipilih
menjadi ketuanya. Pada tanggal 3 Oktober 1945 Teuku Nyak Arif diangkat oleh
pemerintah RI menjadi residen Aceh. Selanjutnya Teuku Nyak Arif diliputi oleh
berbagai kegiatan, baik soal-soal sipil maupun soal-soal keamanan/ketentaraan.
Dalam
keadaan peralihan yang serba berat, maka residen Nyak Arif lebih banyak
menyerupai pimpinan ketentaraan. Oleh karenanya tugas sipilnya banyak
diserahkan kepada wakil residen. Teuku Nyak Arif banyak mengadakan perjalanan
keliling mengatur ketentaraan dan khususnya keamanan. Karena jasanya itu ia
pada tanggal 17 Januari 1946 ia diangkat menjadi Jenderal Mayor Tituler. Revolusi
masih berjalan terus. Setiap waktu dapat terjadi perobahan yang di luar
perhitungan. Di Aceh bergolaklah kembali persaingan antara kaum Ulebalang dan
kaum Ulama. Laskar yang terbesar di Aceh adalah Mujahiddin dan Pesindo.
Mujahiddin yang di bawah pengaruh kaum agama mempunyai ambisi akan menggantikan
residen Nyak Arif. Maksud itu mendapat dukungan dari TPR (Tentara Perlawanan
Rakyat). Konon, ada beberapa pihak yang mendukung untuk melengserkan residen
Teuku Nyak Arif.
Suatu Hari ... 4 Mei
1946 ...
Datanglah
ke Banda Aceh, atau tepatnya Lamnyong suatu hari nanti. Disana
kenangan-kenangan akan Teuku Nyak Arif masih dapat disaksikan secara jelas.
Rumah Teuku Nyak Arif masih berdiri kokoh untuk dijadikan bukti bahwa Teuku
Nyak Arif ini memang benar pernah terlibat dalam sejarah Aceh. Bagi Anda yang
beruntung yang sudah pernah mengunjungi makam Teuku Nyak Arif, ada salah satu
hal yang menarik di halaman makam tersebut. Tepat dibagian depan pintu masuk
makam tersebut, kita akan disambut oleh dua buah monumen yang sangat
bersejarah, dengan tulisan yang di permanen menunjukkan waktu “4 Mei 1946” di
salah satu monumen tersebut. Waktu itu menunjukkan adalah suatu hari
meninggalnya Mayjen Teuku Nyak Arif, seorang pahlawan nasional berasal dari
Aceh.
Mengutip
dari buku-buku sejarah yang ada, waktu itu adalah hari ketika tiba-tiba waktu
berhenti untuk seorang Teuku Nyak Arif. Meninggalnya Nyak Arif, dapat
digambarkan sebagai “hari kelam bagi Pemerintah (atau dulu) disebut Residen
Aceh”. Hari yang kelam tersebut datang dalam satu tahun (1946) yang dimulai
begitu cepat untuk Aceh, terutama untuk keluarga yang ditinggalkan Nyak Arif,
mereka menjulukinya sebagai Hari Kelabu. Betapa tidak, “Hari Yang Kelam”
tersebut datang ketika suasana di Aceh saat itu sedang tidak nyaman; Perang
Combok meletus. Meninggalnya Teuku Nyak Arif tidak dapat dipisahkan dari
peristiwa perang saudara Aceh tersebut. Dalam tulisan ini, Perang Cumbok tidak
akan dibahas.
Teuku
Nyak Arif yang saat itu merupakan Residen Aceh mempunyai pengaruh yang besar
dikalangan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Aceh yang dipimpin oleh Syamaun
Gaharu. Saat itu, para pemimpin di Aceh sedang mengalami perebutan kekuasaan
yang ada saat itu, terutama di antara kalangan ulama dan uleebalang. Nyak Arif
yang merupakan dari kalangan uleebaalang, mendapatkan isu-isu yang
propogandakan oleh berbagai pihak agar Teuku Nyak Arif dinonaktifkan dan
diasingkan ke Takengon. Desakan ini kemudian menjadi kenyataan; pangkat Mayor
Jenderal Teuku Nyak Arif diambil alih oleh Husin al Mujahid dan pangkat Syamaun
Gaharu diambil alih oleh Husin Yusuf. (mungkinkah ini sebagai bentuk kudeta?).
Teuku
Nyak Arif lebih bersedia menyerahkan segala jabatan yang diembannya, ketimbang
harus berperang sesama bangsa sendiri. Kali ini Nyak Arif memperlihatkan bahwa
ia adalah seorang yang tidak haus akan kekuasaan dan lebih mementingkan
persatuan rakyat. Buktinya, Nyak Arif bersedia memberikan segala jabatannya dan
menerima penahanannya dengan lapang dada. Hal ini tentu saja tidak terlepas
dari jiwa nasionalis yang telah lama ditanam oleh Nyak Arif, bahwa sejak dari
dulu ia cukup gencar melawan segala bentuk penjajahan bangsa asing diatas
negerinya, dan ia kerapkali terlibat dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia serta meneruskan cita-cita revolusi.
Setelah
menyerahkan pengkatnya, maka dilakukanlah penangkapan terhadap Teuku Nyak Arif.
Karena mengetahui Nyak Arif masih memiliki pengaruh yang besar, golongan yang
berseberangan dengan Nyak Arif melakukan penangkapan Teuku Nyak Arif secara
baik-baik dan dengan penghormatan. Kepada keluarganya dikatakan bahwa Teuku
Nyak Arif dibawa untuk beristirahat, kebetulan memang saat itu Nyak Arif sedang
sakit. Akhirnya Teuku Nyak Arif dibawa ke Takengon dengan mobil dan mendapat
pengawalan ketat. Ketika Nyak Arif dibawa ke Takengon, pada saat itu keluarga
tidak dibolehkan ikut bersama dengan Nyak Arif. Barulah sekitar sebulan
keluarga di izinkan mengunjungi kediaman Teuku Nyak Arif.
Selama
Teuku Nyak Arif ditawan di Takengon, banyak tokoh-tokoh dan rakyat yang
berdatangan menjenguk Nyak Arif. Bahkan Tengku Muhammad Daud Beureueh yang
merupakan teman akrap Teuku Nyak arif semenjak masa Belanda, meskipun terdapat
pandangan politik yang berbeda, ikut juga menjenguk dan menanyakan kondisi
kekinian tentang Teuku Nyak Arif. Pun begitu juga dengan Nyak Arif menanyakan
balik kepada Daud Beureueh tentang kondisi Aceh pasca ia ditahan dan
diasingkan.
Sebelum
meninggal dunia, Teuku Nyak Arif banyak menitipkan pesan kepada istri dan
keluarganya. Pesan dan wasiat Nyak Arif pun didengar betul oleh keluarganya dan
berjanji untuk segera menepatinya. “Jangan
menaruh dendam, karena kepentingan rakyat harus diletakkan di atas
segala-galanya”. Demikianlah pesan terakhir Mayor Jenderal Teuku Nyak Arif
kepada keluarga sebelum ajal menjemputnya. Akhirnya waktu itu tiba. Dengan ditemani
istri, adik dan anak-anaknya, Teuku Nyak Arif menghembuskan nafas terakhirnya
tepat pada tanggal 4 Mei 1946 di Takengon, Aceh Tengah.
Sejak
saat itu, tidak ada hal lain selain kesedihan-lah yang tejadi pada hari itu
juga. Simpati, empati, rasa hormat, belasungkawa, kekacauan, kehancuran dan
pengkhianatan semuanya bercampur aduk menjadi satu. Hari ini (4 Mei 1946 – 4
Mei 2015), 69 tahun yang lalu setelah kejadian tersebut, haruskah kemudian
laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua, dan seluruh manusia di negeri ini
mendapatkan warisan sejarah berharga; setiap detail terkenang dari peristiwa
yang melibatkan Teuku Nyak Arif. (Mungkin) tragedi dan simpati telah membantu
menarik hati mereka semua; pasukan Ulee Balang, pasukan Ulama Aceh (PUSA), atau
siapapun yang berkaitan dengan segala peristiwa di tahun-tahun yang melibatkan
Teuku Nyak Arif. Semua hal-hal yang hancur lebur pada masa tersebut, akhirnya
terlahir kembali.
Adalah
monumen yang bertuliskan waktu permanen tepat berada dibagian depan gerbang masuk
salah satu makam pahlawan nasional di desa Lamreung, Ulee Kareng. 4 Mei 1946,
waktu memang berhenti seketika untuk salah satu putra Aceh yang bernama Teuku
Nyak Arif. Tapi sebelum waktu itu tiba, cerita sesungguhnya baru saja dimulai
tatkala seorang bocah yang dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1899 telah ikut
berbicara dalam sejarah Aceh sampai pada 4 Mei 1946. Sebuah cerita yang selamanya
akan menggetarkan setiap jiwa yang berhubungan dengan Teuku Nyak Arif; entah
itu pada masa Belanda, pergerakan nasional, pendudukan Jepang, kemerdekaan
Indonesia, bagi Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Aceh, atau ... pada masa
Perang Cumbok.
Hari-Hari Setelah
Meninggalnya Nyak Arif
Semenjak
meninggalnya Teuku Nyak Arif, tampaknya Aceh telah kehilangan sosok yang sangat
penting yang selama ini telah berjuang bersama-sama dengan rakyat Aceh. Di lain
sisi, keluarga Teuku Nyak Arif harus buru-buru mempersiapkan proses pemakaman
jenazah. Tak heran, saat itu sempat pula hadir beberapa spekulasi; apakah Teuku
Nyak Arif dikebumikan di Takengon saja atau dibawa pulang ke Kutaraja (kini
Banda Aceh).
Pembicaraan-pembicaraan
penuh keputusan banyak terjadi; mulai dari keamanan di sekitaran Teuku Nyak
Arif menghembuskan nafas terkahir, keamanan di Takengon, bahkan di koridor Kutaraja.
Namun, dapat dipastikan bahwa proses perjalanan jenazah Teuku Nyak Arif dari
Takengon ke Kutaraja berlangsung aman. Seluruh keluarga yang ikut berangkat
dengan jenazah Teuku Nyak Arif, tak mampu menahan kesedihan bahkan isak tangis
pun mewarnai proses dalam perjalanan jenazah.
Setelah
Teuku Nyak Arif meninggal dunia, banyak tokoh dan pemimpin serta rakyat yang
melayat. Jenazah Teuku Nyak Arif yang berada di Takengon, dibawa ke Bireuen
kemudian dilanjutkan ke Sigli dan dari Sigli dibawa dengan kerta api menuju
Kutaraja. Jenazah Teuku Nyak Arif dimakamkan di desa Lamreung, yang tidak jauh
dari Lamnyong. Makam Teuku Nyak Arif berdampingan dengan makam ayahnya sendiri,
Teuku Nyak Banta. Mengingat besarnya jasa-jasa Teuku Nyak Arif baik
untuk Aceh maupun Indonesia, Pemerintah RI menganugerahi Teuku Nyak Arif gelar
Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden No. 071 /TK/Tahun 1974 tanggal 9
Nopember 1974. “Selamat jalan Mayor Jenderal Teuku Nyak Arif, ingatan kami tentang
sejarah-mu takkan pernah hilang ditelan oleh masa. Doa kami turut selalu
menyertai nama-mu”.
Penulis Chaerol Riezal Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda
Aceh dan Koordinator Wilayah Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia
(IKAHIMSI) Wilayah VIII Aceh dan Sumatera Utara.