Perempuan Rihingya sedang antri makan.(Foto: Dok) |
ACEH TIMUR - Kulzuma Khatu masih berusia 18 tahun. Perempuan
berwajah lonjong bermata bulat itu berbicara dengan cepat dan ekspresi
datar. Hassan Ali, 30 tahun, satu dari dua pengungsi Rohingya yang bisa
berbahasa Melayu menerjemahkan kata-kata Kulzuma pada Tempo. "Suaminya
dibunuh kelompok Budha tahun lalu," kata Ali, Kamis, 28 Mei 2015.
Ali
mengulang kembali cerita Kulzuma. Suaminya yang berusia, 20 tahun, sedang
berada di masjid kampung di daerah Arakan, Myanmar, saat tragedi itu terjadi.
Sekelompok
warga Budha mendatangi masjid dan menyuruh suami Kulzuma dan jemaah lainnya
keluar. Umat Muslim itu bertahan, merasa berhak atas rumah ibadah mereka.
Keteguhan itu berujung maut.
"Kepala
mereka dipotong," ucap Ali. Tangannya memeragakan gerak memotong leher. Di
sampingnya, Kulzuma menirukan gerak serupa. Dia juga menambahkan gerak memotong
lengan serta kaki.
Tak
cukup dengan membantai, kata Ali, kelompok Budha melanjutkan dengan
membungihanguskan kampung Kulzuma. Rumah Kulzuma turut dibakar.
Usai
peristiwa itu, Kulzuma dan anaknya yang berusia dua tahun diberi bantuan rumah
oleh UNICEF. Dia tak betah di sana karena rasa takut dan was-was masih
mengancam.
Kulzuma
akhirnya memutuskan membayar pedagang manusia untuk membawanya ke Malaysia. Di
sana, adik dan saudara Kulzuma telah membangun hidup lebih dulu. Sayang,
bukannya membawa ke Malaysia seperti yang dijanjikan, kapal yang ditumpangi
Kulzuma justru membuatnya terkatung-katung di lautan selama puluhan hari hingga
dibawa ke pantai timur Aceh.
Kepada
Ali, Kulzuma mengatakan tak ingin kembali ke kampung halaman. Dia hanya ingin
meneruskan perjalanan ke Malaysia, bertemu saudaranya.
Ali
mengatakan seratus persen pengungsi Rohingya asal Myanmar tak ingin
dikembalikan ke sana. "10 persen ingin ke Malaysia," ujar Ali.
"90 persen ingin tinggal di Indonesia karena di sini kami bahagia."[Tempo]