Sengaja Penulis coba sedikit membuka tabir
dan fenomena judul diatas, namun bukan berarti untuk menuduh, mendzalimi atau
mendeskreditkan seseorang terutama para wakil rakyat yang sekarang mengemban
amanah dan memiliki jabatan sebagai anggota dewan.
Fenomena ini sering terjadi, seperti di
negeri antah berantah! Negeri tempat orang menggantungkan harga diri dan
kehormatan untuk mendapatkan nikmatnya kursi jabatan melalui pesta rakyat yang
terkadang …… huuuuh harus membeli suara dengan amplop 20 ribuan, 50
ribuan atau 100 ribuan. Terkadang ada yang semangat memberikan berbagai ragam
sembako demi tercapainya cita-cita biar orang bisa memanggil “Pak Dewan atau
Buk Dewan”.
Wakil rakyat itu, kumpulan orang-orang
hebat! Bukan hanya hebat dari segi pendidikan, latar belakang sosial, pergaulan
atau koneksi, tapi juga hebat dari segi etika, moral dan sopan santun. Anehnya
kehebatan itu terkadang luntur oleh sikap dan tingkah polah anggota dewan itu
sendiri.
Ya, tingkah polah dia sendiri! Ketika kampanye
mulutnya berbuih. Segudang janji diumbar laksana penjual jamu obat kuat untuk
menarik pembeli. Soal kemanjuran obatnya,,, heh itu soal nanti!
Setelah obat dibeli, sang penjual jamu
entah masih punya keberanian atau tidak untuk hadir di tempat penjualan lapak
yang pertama. Sama juga seperti anggota dewan, sudah mulai enggan menjual jamu,
mulutnya sudah mulai tertutup rapat meski sesekali nyengir tanda bersahabat
semu.
Setelah sang pemilik suara mengantar
anggota dewan menang merebut jabatan, beragam pengakuan juga datang menghampiri
sang pemenang. Mulai aku sudah membantu, aku timsesnya, aku…aku…dan banyak yang
mengaku untuk mendapatkan sekedar uang recehan.
Namun “AKU” yang lebih besar memberikan
sponsorship lebih, memang mau mendapatkan sedikit proyek-proyek PL ataupun pemenang
tender, yang penting jerih payah pemenangan terbayarkan sebagai balas budi.
Namun, sang dewan terkadang lupa diri
setelah menikmati pembelajaran sebagai anggota dewan melalui 4D alias dating,
duduk, diam, dapat dhuwit. Karena pikirannya bukan murni sebagai wakil rakyat
setelah duduk sebagai dewan, namun manusiawi berpikir mengumpulkan pundi-pundi
rupiah sebagai ganti modal pemilu.
Nah, setelah beberapa bulan berlalu menjadi anggota dewan, yang dulunya dinyatakan sehat, justru sekarang timbul penyakit baru. Ada phobia atau takut ketemu orang, takut ditemui orang, enggan bertemu orang, yang lebih aneh alergi sama bunyi HP.
Dari beberapa survey dan curhatan
masyarakat, nampaknya penyakit itu sudah hampir memasuki fase kritis layaknya
virus ebola. Ada kalanya penyakit itu datang tiba-tiba, pas deket warung kopi,
pas deket rumah makan, pas deket acara seremonial, bahkan pas acara
hajatan, pokoknya serba pas kebetulan.
Rata-rata pemilih mengalami hal ini,
padahal bukan maksud hati untuk meminta bantuan ataupun diberikan bantuan. Padahal
menghubungi lewat telphone hanya sebagai penyambung silaturrahmi dan say hello
saja. Namun kita terkadang dibuat kesal ketika HP Anggota Dewan jarang aktif
atau memang sudah ganti nomor.
Terkadang terdengar nada sambung sebagai
berikut :
“Tuut … tuut … tuut … rekam pesan anda
setelah nada berikut.”
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif
atau diluar service area”.
“Nomor yang anda tekan, salah”.
Bukankah wakil rakyat seharusnya merakyat,
melayani, melindungi, dan menjadi panutan. Kalau memang mengemban amanah rakyat
kenapa harus menghindari rakyat, memang tidak dipungkiri ada oknum-oknum yang
memakai modus untuk menjerat anggota dewan demi kepentingan pribadi.
Namun demikian, anggota dewan jangan selalu
berburuk sangka kepada semua orang, karena tentu lebih banyak manusia yang
berakhlak daripada oknum yang suka jual nama rakyat.
Semoga tulisan ini, bisa menginspirasi Anggota
Dewan yang terhormat, agar bijak terhadap janjinya dan bijak terhadap rakyat
pemilihnya. Dengan jabatan yang hanya lima tahun saja, berbuat baiklah seperti
waktu kampanye, yakinlah kalau anda baik, rakyat juga akan baik. Yakinlah kalau
masih punya ambisi, dipastikan anda akan terpilih lagi, namun kalau sebaliknya
maka biarkanlah nikmatmu hanya sementara.