-->

Bagaimana Proses Reintegrasi Aceh Saat Ini?

09 Mei, 2015, 22.27 WIB Last Updated 2015-05-09T15:29:25Z
LHOKSUKON - Berbicara masalah kebijakan Aceh tentu dibuat oleh Pemerintah, baik pusat maupun Aceh. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebijakan tersebut. Kebijakan itu kini diatur di dalam qanun.

Demikian hal itu disampaikan Dosen Hukum Universitas Malikussaleh Amrizal J. Prang SH, LLM saat menjadi pemateri dalam acara seminar "Menakar Reintegrasi Proses Pasca/Jelang 10 Tahun MoU Helsinki" yang berlangsung di Balai Panglateh Lhoksukon, Aceh Utara, Sabtu (09/5/2015).

"Pemerintah bebas membuat qanun apa saja namun pada kenyataan untuk saat ini apakah qanun-qanun itu dilaksanakan oleh masyarakat," jelas Amrizal.

Lebih lanjut dirinya mengatakan bahwa MoU menjadi landasan utama politik di Aceh, dan UUPA menjadi dasar hukum untuk membangun bangsa Aceh. Konflik adalah perbedaannya pendapat yang memicu terjadinya kekerasan terutama di Aceh.

"Oleh sebab itu Bagaimana proses reintegrasi Aceh saat ini? Seperti kita ketahui reintegrasi itu belum berjalan dengan baik. Nah disinilah tugas pemerintah Aceh untuk mengientegrasikan perdamaian Aceh. Mari sama-sama kita diskusikan," tambahnya.

Sementara itu pemateri kedua dari LSM Ranup Women Institute (RAWI), Safwani SH mengatakan, pelaksanaan pembangunan Aceh menjelang 10 Tahun perdamaian MoU Helsinki belum terealisasikan.

"Proses reintegrasi memang tidak bisa dilakukan dengan cepat namun kita dapat melihat proses perjalanannya. Pembangunan yang dilakukan tidak mengarah ke perdamaian," sebut Safwani.

Menurutnya, pembangunan yang tidak merata contohnya seperti bantuan kepada mantan kombatan GAM. Sedangkan untuk masyarakat yang mengalami konflik tidak merata.

"Dukungan pemerintah untuk menjaga perdamaian Hukum dan HAM juga sangat terbatas. Ruang akses untuk pemerintahan masih sangat terbatas. Jika kita melihat kekerasan yang terjadi saat ini di Aceh Utara proses perdamaian itu memang jauh dari harapan," sebut lagi Safwani.

Dirinya juga menyatakan bahwa 10 Tahun perjalanan pembangunan namun tidak menjadi jaminan bahwa Aceh kedepan akan nyaman.

"Perubahan politik yang tidak diinginkan mudah terjadi. Turunan UUPA juga belum selesai, ini juga menyebabkan adanya desakan-desakan untuk turunan UUPA cepat selesai," pungkasnya.

Pantauan wartawan, seminar yang berlangsung pada pukul 09:00 - 13:00 wib itu juga sempat membuat suasana agak tegang. Hal itu muncul ketika beberapa pegiat LSM dan mantan kombatan GAM berdiskusi melemparkan pertanyaan kepada pemateri.

Belasan personel Polisi dari Polres Aceh Utara juga dikerahkan disekitar lokasi untuk berjaga-jaga mengantisipasi hal-hal yang tidak di inginkan.

Salah satunya pertanyaan Tgk Amri dari LSM KOBRA. Dirinya bertanya, bahwa pelanggran HAM sudah sampai mana.

"Bagaimana dengan adanya pihak lain yang mengaku bahwa bulan bintang adalah bendera mereka padahal dulunya mereka tidak pernah berjuang," tanya Amri.

Sementara menjawab pertanyaan itu, Amrijal J Prang menjelaskan bahwa berbicara kembali mengenai HAM itu memang agak sedikit sulit.

"Contoh banyak Negara-negara luar seperti afrika selatan, timor leste yang melakukan rekonsiasi. Itu disebabkan karena ada dugaan beberapa pihak. Seharusnya harus ada pengakuan terlebih dahulu baru ada pemaafan," jawab Amrijal.

Oleh sebab itu sambungnya, banyak waktu yang dibutuhkan untuk hal ini. Masalah hukum adalah suatu permasalahan yang tidak abadi. 

"Aceh bagian dari pusat, oleh sebab itu kita tidak boleh mengatur pemerintah itu sendiri karena semua persetujun itu sudah diatur pada perdamaian MoU Helsinki," jelas Amrijal menjawab pertanyaan dari beberapa pegiat LSM maupu mantan kombatan GAM.

Seminar ini digelar oleh Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Pemberdayaan Pemuda Aceh (DPP FKPP-Aceh) yang diketuai oleh Razali SKM.

Sejumlah mantan kombatan GAM juga turut dihadirkan dalam acara itu.[Chairul]
Komentar

Tampilkan

Terkini