LHOKSUKON - Berbicara masalah kebijakan Aceh tentu dibuat oleh
Pemerintah, baik pusat maupun Aceh. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kebijakan tersebut. Kebijakan itu kini diatur di dalam qanun.
Demikian
hal itu disampaikan Dosen Hukum Universitas Malikussaleh Amrizal J. Prang SH,
LLM saat menjadi pemateri dalam acara seminar "Menakar Reintegrasi Proses
Pasca/Jelang 10 Tahun MoU Helsinki" yang berlangsung di Balai Panglateh
Lhoksukon, Aceh Utara, Sabtu (09/5/2015).
"Pemerintah
bebas membuat qanun apa saja namun pada kenyataan untuk saat ini apakah
qanun-qanun itu dilaksanakan oleh masyarakat," jelas Amrizal.
Lebih
lanjut dirinya mengatakan bahwa MoU menjadi landasan utama politik di Aceh, dan
UUPA menjadi dasar hukum untuk membangun bangsa Aceh. Konflik adalah
perbedaannya pendapat yang memicu terjadinya kekerasan terutama di Aceh.
"Oleh
sebab itu Bagaimana proses reintegrasi Aceh saat ini? Seperti kita ketahui
reintegrasi itu belum berjalan dengan baik. Nah disinilah tugas pemerintah Aceh
untuk mengientegrasikan perdamaian Aceh. Mari sama-sama kita diskusikan,"
tambahnya.
Sementara
itu pemateri kedua dari LSM Ranup Women Institute (RAWI), Safwani SH
mengatakan, pelaksanaan pembangunan Aceh menjelang 10 Tahun perdamaian MoU
Helsinki belum terealisasikan.
"Proses
reintegrasi memang tidak bisa dilakukan dengan cepat namun kita dapat melihat
proses perjalanannya. Pembangunan yang dilakukan tidak mengarah ke
perdamaian," sebut Safwani.
Menurutnya,
pembangunan yang tidak merata contohnya seperti bantuan kepada mantan kombatan
GAM. Sedangkan untuk masyarakat yang mengalami konflik tidak merata.
"Dukungan
pemerintah untuk menjaga perdamaian Hukum dan HAM juga sangat terbatas. Ruang
akses untuk pemerintahan masih sangat terbatas. Jika kita melihat kekerasan
yang terjadi saat ini di Aceh Utara proses perdamaian itu memang jauh dari
harapan," sebut lagi Safwani.
Dirinya
juga menyatakan bahwa 10 Tahun perjalanan pembangunan namun tidak menjadi
jaminan bahwa Aceh kedepan akan nyaman.
"Perubahan
politik yang tidak diinginkan mudah terjadi. Turunan UUPA juga belum selesai,
ini juga menyebabkan adanya desakan-desakan untuk turunan UUPA cepat
selesai," pungkasnya.
Pantauan
wartawan, seminar yang berlangsung pada pukul 09:00 - 13:00 wib itu juga sempat
membuat suasana agak tegang. Hal itu muncul ketika beberapa pegiat LSM dan
mantan kombatan GAM berdiskusi melemparkan pertanyaan kepada pemateri.
Belasan
personel Polisi dari Polres Aceh Utara juga dikerahkan disekitar lokasi untuk
berjaga-jaga mengantisipasi hal-hal yang tidak di inginkan.
Salah
satunya pertanyaan Tgk Amri dari LSM KOBRA. Dirinya bertanya, bahwa pelanggran
HAM sudah sampai mana.
"Bagaimana
dengan adanya pihak lain yang mengaku bahwa bulan bintang adalah bendera mereka
padahal dulunya mereka tidak pernah berjuang," tanya Amri.
Sementara
menjawab pertanyaan itu, Amrijal J Prang menjelaskan bahwa berbicara kembali
mengenai HAM itu memang agak sedikit sulit.
"Contoh
banyak Negara-negara luar seperti afrika selatan, timor leste yang melakukan
rekonsiasi. Itu disebabkan karena ada dugaan beberapa pihak. Seharusnya harus
ada pengakuan terlebih dahulu baru ada pemaafan," jawab Amrijal.
Oleh
sebab itu sambungnya, banyak waktu yang dibutuhkan untuk hal ini. Masalah hukum
adalah suatu permasalahan yang tidak abadi.
"Aceh
bagian dari pusat, oleh sebab itu kita tidak boleh mengatur pemerintah itu
sendiri karena semua persetujun itu sudah diatur pada perdamaian MoU
Helsinki," jelas Amrijal menjawab pertanyaan dari beberapa pegiat LSM
maupu mantan kombatan GAM.
Seminar
ini digelar oleh Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Pemberdayaan Pemuda Aceh
(DPP FKPP-Aceh) yang diketuai oleh Razali SKM.
Sejumlah
mantan kombatan GAM juga turut dihadirkan dalam acara itu.[Chairul]