JAKARTA — Wakil Presiden Jusuf
Kalla menggugat keberadaan perusahaan besar dari negara-negara maju yang telah
menjadi penyebab utama rusaknya hutan Indonesia.
50
tahun silam, Kalla menggambarkan, hamparan hutan tropis di Indonesia seluas
lebih dari 150 juta hektar berada dalam kondisi baik. Namun sekarang keadaannya
berubah setelah sejumlah perusahaan dari negara maju mengeksploitasi ekosistem
hutan di berbagai pulau.
“Kita tidak tahu
bagaimana caranya merusak hutan sampai negara-negara maju datang. Amerika
Serikat dengan Caterpilar, Sumitomo Mitsui dari Jepang yang mendatangkan
Komatsu untuk pembalakan, Korea dengan Hyundai,”urainya
saat pidato dalam agenda Tropical Landscapes Summit: A Global Investment
Opportunity Summit, Senin (27/4/2015).
Menurut
dia, tarif standar yang ditetapkan dalam perdagangan karbon yang ditetapkan
terlalu rendah sehingga pemerintah sulit melakukan pengurangan efek gas rumah
kaca sesuai harapan.
Menurut
dia, negara-negara maju yang memanfaatkan hasil hutan Indonesia harus membayar
lebih atas kegiatan operasional bisnis mereka.
“Banyak yang mengakui
bagaimana harga bisa semurah itu, hanya US$5 per kubik. Bagaimana bisa mereka
bilang kami harus merawat hutan dengan baik?”katanya.
Pada
akhirnya, lanjut dia, 50 tahun setelah pembalakan hutan terjadi, maka muncul
banjir, iklim panas, dan pembinasaan ekosistem.
Untuk
itu, dia mendorong implementasi kesepakatan standar harga pembayaran
perdagangan karbon. Dia mengeluhkan banyak negara yang tidak menerapkan
perjanjian Protokol Kyoto. Ada pula yang menerapkan dengan harga perdagangan
karbon yang tidak laik.
“Banyak negara tidak
menerapkan perjanjian Kyoto. Bagaimana kami bisa merawat hal itu kalau tarifnya
sangat murah?”tanyanya.
Protokol
Kyoto merupakan amandemen terhadap konvensi rangka kerja PBB tentang perubahan
iklim, sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Ini
merupakan persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi
emisi gas rumah kaca secara kolektif.[Bisnis]