Pasca penggusuran yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh perusahaan raksasa yang
bergerak di bidang eksplorasi minyak dan gas yaitu Exxonmobil di sepajang areal
jalan simpang Ceubrek-Point. A yang merupakan tanah milik perusahaaan
Exxonmobil, meninggalkan kecemasan bagi masyarakat setempat yang selama ini
menetap di kawasan perusahaan itu.
Dalam
tahun ini, perusahaan Exxonmobil sangat
gencar melakukan sosialisasi kepada para
warga yang notabene menduduki dan berjualan di lahan tersebut.
Rata-rata
kios dan warung yang berdiri di atas lahan tersebut termasuk bangunan dari
bahan kontruksi kayu semua. Bahkan ada pula beberapa diantaranya yang sudah semi
permanen, dengan tiang beton dan lantai
beton.
Namun,
tetap saja, mereka yang menggarap di lokasi itu rata-rata warga yang sangat
keterbatasan ekonominya.
"Cemaslah kami. Mau tinggal dimana kami kalau digusur. Masak kita digusur gitu aja. Apa
mereka senang kami digusur," ujar
Habibah (55), salah seorang warga Nibong Baroh, Kecamatan Nibong,
Kabupaten Aceh Utara, yang memanfaatkan
lahan Exxonmobil tersebut selain untuk tempat
berjualan sekaligus tempat tinggalnya.
Habibah
mengatakan, dirinya bersama keluarga telah menetap di lokasi selama 1 tahun. "Sudah
satu tahun saya di sini. Saya di sini,
kan bukan orang senang. Kalau orang senang ya, gak mungkin kita tinggal di sini,"
tuturnya pilu.
"Anak
dan cucu saya pun bilang, 'gimana nek
kalau kita digusur. Mau dimana kita tinggal'. Sedih aku dengarnya,"
kata janda ini yang hanya berjualan gorengan dan bandrex di depan pintu Cluster II Exxonmobil,
menceritakan bahwa dirinya di rumah itu tinggal bersama anak dan cucunya.
Habibah yang dikabarkan sempat pingsan saat mengetahui rencana penggusuran ini berharap, jikapun nantinya pihak perusahaan Exxonmobil menggusurnya, supaya ada memberikan santunan atau
ganti rugi sehingga mereka dapat merehap atau minimal memperbaiki rumah tempat
tinggal lama yang sudah tidak layak huni lagi.
Menurut
ceritanya, ibu tua yang sehari-hari berjualan
gorengan dan minuman bandrex tersebut pada tahun 2014 lalu pernah didatangi
seseorang untuk memberikan bantuan rumah. Pada
saat itu Habibah diminta uang Rp2 juta rupiah untuk pengurusan rumah
warna "Merah".
Karena
tidak punya uang, Habibah pun meminjam uang pada tetangganya dengan cara menggadaikan
tanah semata wayangnya (sepetak sawah) demi mendapatkan bantuan sebuah rumah.
Namun
setelah ditunggu berbulan-bulan, bantuan yang dijanjikan tak kunjung datang. Bukan
bantuan yang didapat, malah harus terlilit hutang.
“Makanya saya terpaksa
tinggal di tempat yang sekarang ini untuk
berjualan gorengan ini, karena rumah peninggalan almarhum suami saya tidak bisa
dihuni lagi. Selain atapnya yang sudah bocor semua, dindingnya pun sudah
bolong-bolong dan mulai jatuh satu persatu karena kayunya yang sudah lapuk dimakan
usia,” ujarnya, yang mengisahkan bahwa sampai saat ini mengaku
kesulitan mencari uang untuk merehab rumahnya.
"Jangankan
membangun, merehap pun tidak punya uang, saya jual gorengan kadang-kadang untuk
beli beras sehari-hari saja tidak cukup," ujar janda ini seraya berharap
kepada pemerintah agar dapat mendengar dan melihat penderitaannya selama ini.
Penulis:
Razali