MAROS - Punya menantu tak selamanya membawa kegembiraan. Setidaknya, inilah yang dialami oleh Daeng Norma, warga Desa Baji Mangngai, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros.
Ia kini hidup bersama anak bungsunya, Kas Munsir, di atas gubuk kecil yang dibangun di atas pohon. Gubuk berukuran empat kali empat meter persegi itu bertopang pada cabang kayu yang berdiri di atas lahan sawah. Dinding gubuk terbuat dari kayu bekas dan atap seng yang sudah bocor. Setiap kali masuk atau keluar rumah, Daeng Norma dan Kas Munsir menggunakan tangga kayu yang sudah lapuk.
Daeng Norma mengisahkan, suaminya meninggal tahun 1998 dan mewariskan satu rumah kepada anak sulungnya, Indar Bumayya. Ketika Indar menikah, suami Indar rupanya tidak suka dengan kehadiran Daeng Norma. Daeng Norma pun diusir.
Sakit hati diperlakukan demikian, Daeng Norma kemudian memilih tinggal di atas pohon yang berdiri tepat di samping rumahnya yang dulu. Kas Munsir, anak bungsunya yang sudah duduk di kelas XI sekolah pelayaran swasta, ikut bersama ibunya.
Kedua orang ini pun hidup mengandalkan dari hasil pekerjaan serabutan. Kadang kala mereka menjadi buruh tani dengan upah seember padi dari tujuh ember padi yang dipanen. Daeng Norma juga bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Menambah penghasilan, Daeng Norma dan Kas Munsir beternak itik dan menjual telur asin.
"Saya memilih mengalah demi kebahagiaan anak saya. Cukup Tuhan yang tahu bagaimana sakitnya perasaan saya diperlakukan demikian oleh anak dan menantu sendiri," kata Daeng Norma kepada TEMPO.
Sampai sekarang, belum ada perhatian dari pemerintah setempat terkait dengan kesengsaraan yang dialami Daeng Norma. Daeng Norma sendiri tak begitu peduli dengan hal itu. "Bagi saya, yang penting Kas Munsir bisa terus sekolah dan memperbaiki hidupnya, itu sudah lebih dari cukup," kata Daeng Norma. [Tempo]