JAKARTA - Masih ingat kasus hilangnya pasal Undang-Undang
Tembakau saat disahkan oleh DPR. Kasus serupa kembali terjadi. Kali ini tiga
pasal hilang dan tiga pasal baru muncul di UU No 8/2015 tentang Pilkada.
Informasi
hilangnya pasal dibeberkan anggota Komisi II DPR Frans Agung MP Natamenggala
kepada wartawan di Jakarta, Jumat (24/4).
"Saya
sangat prihatin dengan kasus ini," kata Frans.
Natamenggala
mengatakan, perdebatan pemilihan kepala daerah langsung atau tidak langsung
sudah selesai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) No 1/2014 bahwa Pilkada dilaksanakan secara langsung.
Kemudian,
kata Frans, Perppu tersebut disetujui DPR secara àklamasi menjadi UU No 1/ 2015
dan UU No 8/2015 tentang Perubahan UU No 1/ 2015. Namun justru setelah disahkan
di sidang paripurna tiga pasal hilang.
"Namun,
UU ini menjadi cacat ketika muncul pasal yang sebelumnya tidak ada dalam UU
atau pasal yang sudah dibahas dan disahkan di paripurna DPR pada 17 Februari
2015," katànya.
Frans
menyebutkan pasal yang bermasalah tersebut: Pertama, Pasal 42 Ayat 7 UU No 1
Tahun 2015 yang disetujui DPR menyebutkan, "Pendaftaran calon gubernur dan
calon wakil gubernur, pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, serta
pasangan calon walikota dan calon wakil walikota selain pendaftarannya
ditandatangani oleh ketua dan sekretaris partai politik, jugà harus disertai
surat persetujuan dari pengurus partai politik tingkat pusat."
Pasal
ini, kata Frans, hilang atau tidak ada dalam UU No 8 Tahun 2015.
Kedua,
Pasal 87 Ayat 4 UU No 1 Tahun 2015 berbunyi, "Jumlah surat suara di TPS
sama dengan jumlah pemilih yang tercantum di dalam DPT dan daftar pemilih
tambahan ditàmbah dengan 2,5% dari daftar pemilih tetap sebagai cadangan."
Pasal
ini, kata Frans, tidak pernah dibahas dan disetujuk dalam paripurna DPR dan
perubahan UU No 1 Tahun 2015.
"Tetapi
anehnya, pasal ini justru muncul dalam UU No 8 Tahun 2015," ujar Frans
lagi.
Ketiga,
Pasal 71 Ayat 2 UU No 1 Tahun 2015 mengatakan, "Pengisian jabatan hanya
dapat dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan.
"Penjelasan
pasal ini tidak pernah dibahas dan disetujui dalam paripurna DPR dalam
perubahan UU No 1 Tahun 2015," katanya.
Tetapi
penjelasan Pasal 71 Ayat 2 UU No 8 Tahun 2015 yang berbunyi, "dalam
hal terjadi kekosongan jabatan, maka gubernur, bupati dan walikota menunjuk
pejabat pelaksana tugas" justru muncul di UU baru ini.
"Kami
minta pemerintah mengklatifikasi hal ini," kata politisi Partai Hànurà
dari dapil Lampung I.
Dia
menegaskan terkait persoalan ini, pemerintah harus menjelaskan mengapa banyak
pasal yang muncul setelah pembahasan UU tersebut sudah selesai dan disahkan
oleh paripurna.
"Kasus
ini semakin merusak citra pembuat UU dan ada pihak tertentu yang ingin merusak
pelaksanaan Pilkada. Jadi pemerintah harus menjelaskan mengapa hal itu terjadi.
Kalau dibiarkan akan merambat ke pembuatan UU lainnya," demikian Frans.[rmol]