Ist |
BANDA ACEH - Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyelenggarakan
konferensi pers untuk memaparkan dua kasus indikasi korupsi yang terjadi di
Kota Sabang dan Kota Subulussalam, Senin (30/3). Konferensi pers ini
dilaksanakan di sekretariat MaTA yang dimulai pukul 10.00 WIB.
Dalam
kegiatan ini, turut hadir Alfian, Koordinator MaTA, Baihaqi, Koordinator Bidang
Monitoring Peradilan MaTA dan Hafidh, Koordinator Bidang Advokasi Anggaran dan
Kebijakan Publik MaTA.
MaTA
memaparkan bahwa kedua kasus, baik yang terjadi di Kota Sabang dan Kota
Subulussalam tersebut sudah dilaporkan ke KPK masing-masing pada 18 Februari
2015 dan 27 Maret 2015. Hal ini bertujuan agar KPK dapat segera melakukan
penyelidikan mengingat besar dugaan keterlibatan para pejabat di lingkungan
Kota Sabang dan Subulussalam.
Kasus
ini indikasi korupsi yang terjadi di Sabang adalah pengadaan tanah untuk
komplek perumahaan guru Kota Sabang seluas 9000 m² yang terletak di Jurong Cot
Dama Gampong Paya Seunara Kecamatan Sukakarya Kota Sabang. Anggaran untuk
pengadaan ini bersumber dari APBK Kota Sabang tahun 2012 dengan pagu anggaran
sebesar Rp. 1.8 milyar yang di plotkan melalui Dinas Pendidikan Kota Sabang.
Dalam
kasus ini, MaTA mensinyalir telah terjadi indikasi pemahalan harga yang
berpotensi merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 1.3 Milyar karena dalam
pembebasannya tidak menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan setempat
sebesar Rp. 20.015 per meternya. Kalau berpedoman pada NJOP, harga lahan
tersebut hanya sebesar Rp. 180 juta.
Selain
itu, pengadaan tanah ini tidak masuk dalam proses perencanaan anggaran untuk
tahun 2012. Hal ini terbukti dari Rencana Kerja Anggaran (RKA) Dinas
Peendidikan Kota Sabang untuk tahun 2012 tidak masuk. Akan tetapi setelah
pembahasan dua pihak, anggaran pengadaan tanah ini sudah muncul dalam Dokumen
Pelaksana Anggaran (DPA) Dinas Pendidikan 2012.
Kasus
indikasi pemahalan harga pengadaan tanah ini menurut analisa MaTA sudah
memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 2
dan 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 j.o UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Olehnya karena, MaTA berharap agar pengusutan kasus ini
oleh KPK dapat dipantau oleh seluruh eleman masyarakat dengan tujuan agar oknum
yang terlibat benar-benar di jerat sesuai dengan hukum yang berlaku.
Selain
itu, MaTA juga berharap agar setiap pengadaan tanah oleh pemerintah dapat
diawasi oleh masyarakat secara bersama. Hal ini mengingat bahwa dalam pengadaan
tanah, rentan terjadi indikasi korupsi dengan berbagai modus, baik pemahalan
harga, tidak sesuai prosedur maupun berbagai modus lainnya.
Kasus di Subulussalam
Selain
kasus di Sabang, dalam konferensi pers ini MaTA juga memaparkan tentang kasus
dugaan korupsi yang terjadi Kota Subulussalam. Kasus ini adalah kasus pemberian
izin kepada salah satu perusahaan dimana lahan yang diberikan oleh pemerintah
berada dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL). Hal ini jelas-jelas bertentangan
dengan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dalam
pasal 150 ayat 2 UU tersebut disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan
pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam
kawasan ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Dan secara prinsip, menurut analisa MaTA, pemberian izin kepada perusahaan
tersebut telah melanggaran ketentuan hukum UU Nomor 11 Tahun 2006.
Kasus
ini sendiri sudah dilaporkan ke KPK pada 27 Maret silam. Dimana dalam
laporannya MaTA menyebutkan bahwa oknum pejabat teras di Kota Subulussalam dan
oknum Pejabat di Provinsi Aceh serta oknum dari pihak perusahaan diindikasikan
terlibat. Berdasarkan hasil perhitungan MaTA, nilai potensi kerugian perekonomian
Negara yang ditimbulkan oleh pemberian izin ini mencapai Rp. 68 miliar lebih.
Oleh
karenanya, MaTA mendesak kepada jajaran pemerintah di Aceh, untuk segera
melakukan review atas perizinan yang telah dikeluarkan selama ini. Sehingga
dengan adanya review ini, dapat ditertibkan seluruh izin yang masih berlaku
guna penataan perizinan yang ada. Selain itu, MaTA juga mendesak agar seluruh
izin yang berada dalam Kawasan Ekosistem Lauser dapat dibekukan karena
izin-izin tersebut berbenturan dengan UU Pemerintahan Aceh pasal 150 ayat 2. [Pin]