Konsep desentralisasi pengelolaan keuangan daerah pada dasarnya menempatkan Kepala SKPD sebagai pemilik dana yang ada di kas daerah ketika anggaran yang menjadi kewenangannya telah memiliki SPD (Surat Penyediaan Dana), yang bermakna telah tercantum angka rupiahnya dalam dokumen anggaran kas SKPD (yang telah disahkan oleh BUD).
Dalam hal ini, anggaran kas dapat dipandang sebagai sebuah bentuk kontrak antara BUD dengan kepala SKPD, dengan tujuan akhir untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kegiatan sesuai dengan skedul yang diajukan oleh SKPD.
Setelah BUD menerbitkan SPD, maka kepala SKPD sudah dapat mengajukan kebutuhan dana dengan menerbitkan SPM-UP (surat perintah membayar-uang persediaan), yang nantinya akan dipegang oleh bendahara (pengeluaran) untuk digunakan dalam operasional SKPD dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dikelolanya. Artinya, uang untuk pelaksanaan kegiatan dipegang oleh bendahara meskipun yang bertanggungjawab untuk pengendalian atas pelaksanaan pekerjaan ada di tangan PPTK.
Hal ini bermakna bahwa meskipun PPTK bertanggungjawab atas kesuksesan pelaksanaan kegiatan, PPTK tidak memegang uang (karena ada di bendahara). Ini berbeda dengan makna yang tersirat dalam Keppres 80/2003 tentang pengadaan barang dan jasa, yang menyebutkan bahwa kontrak ditandatangani oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) yang sekaligus bertanggungjawab dalam pelaksanaan pekerjaan fisik dan keuangan.
Pejabat Pengadaan dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dalam pengadaan barang/jasa di daerah ternyata masih menjadi persoalan besar dan pelik di kalangan aparatur daerah. Bagaimana kriteria dan persyaratan dalam mengangkat pejabat yang bertanggung jawab dan melaksanakan pengadaan barang/jasa berdasarkan Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sekaligus juga melaksanakan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah masih menjadi persoalan.
Adanya PPTK dalam PP Nomor 58 tahun 2005 yang mempunyai fungsi dan kedudukan yang hampir sama dengan PPK dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 masih menimbulkan pertanyaan tentang kedudukan PPTK yang melaksanakan pengadaan barang/jasa.
Demikian pula dengan penetapan PPK dan Pejabat Pengadaan yang disyaratkan mempunyai sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa dikaitkan dengan PNS yang memegang jabatan karier, sehingga bisa saja terjadi konflik internal antar aparatur sebagai akibat adanya pejabat yang secara karier lebih tinggi pangkatnya namun dalam pengadaan barang/jasa tidak bisa bertindak sebagai PPK.
Kedudukan PPTK dalam Pengadaan Barang/Jasa mengendalikan pelaksanaan kegiatan yang melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan, menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan, dengan demikian PPTK bertanggung jawab kepada pejabat PA/KPA.
Adapun dari penelusuran Tim lintasatjeh.com di lapangan, sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh pemuda di Aceh Timur, banyak menanyakan persoalan bagaimana Kadishutbun Aceh Timur pada masa kepemimpinan Ir. Saifuddin, SP mengenai mekanisme dalam pengangkatan PPTK terkait dengan kegiatan pengembangan usaha perbenihan, penyediaan bibit dan pengawasan peredaran benih perkebunan dana Otsus Dishutbun kabupaten Aceh Timur tahun 2012 dan s/d tahun 2014?
Apakah mekanisme Dishutbun dalam pengangkatan menjadi PPTK untuk kegiatan dana Otsus, sudah sesuai dan berdasarkan pada pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran kegiatan, beban kerja, lokasi, dan atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya? Karena PPTK adalah merupakan pelaksana sekaligus penanggung jawab kegiatan di unit kerja SKPD.
Bustami S. Hut, merupakan salah seorang sarjana kehutanan yang diangkat menjadi PPTK dalam program kegiatan tentang perkebunan di Dishutbun pada masa kepemimpinan Ir. Saifuddin, MP. Sementara masih banyak pegawai Dishutbun Kabupaten Aceh Timur, yang sarjana perkebunan. Pada saat itu, Bustami S. Hut adalah salah satu pegawai yang ditengarai bermasalah dari Aceh Tamiang, pindah menjadi pegawai di Dishutbun Aceh Timur.
Tidak berapa lama kemudian oleh Dishutbun, Bustami langsung diangkat menjadi PPTK dalam kegiatan pengembangan usaha perbenihan, penyediaan bibit dan pengawasan peredaran benih perkebunan dana Otsus Dishutbun Kabupaten Aceh Timur tahun 2012 dan s/d tahun 2014.
Seharusnya Ir. Saifuddin MP dalam pengangkatan PPTK disesuaikan dengan objektifitas dan proposional, atau mungkin pegawai yang lain tidak bisa dan tidak mau diajak melakukan kerjasama yang baik oleh Kadis. Sehingga Saifuddin, MP mengangkat Bustami S. Hut menjadi PPTK hingga 3 tahun lamanya, meskipun terjadi berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh Bustami, tapi Ir. Saifuddin, MP tetap mempertahankan.
Sumber terpercaya di internal Dishutbun mengungkapkan Bustami, S. Hut sudah beberapa kali bermasalah dengan sesama pegawai, namun Kadis merasa kesulitan untuk menindak Bustami, disini dapat disimpulkan bahwa ada sesuatu yang ditutup-tutupi diantara mereka.
"Hingga akhirnya Bustami diangkat menjadi Kasie Sarana Perkebunan oleh Ir. Saifuddin, MP sebelum lengser dan digantikan Iskandar. Apakah ini juga sudah sesuai dengan mekanisme?" [Tim]