Tho bileh kareng leubot,
Peunyaket sot meuriwang teuma
Dua hari ini kita kembali guncang. Bau konflik masa lalu seperti menyelinap di ruang publik. Analisis, tanggapan, imbauan dan berbagai pernyataan berseliweran di media. Kasus penembakan dua intel TNI bahkan menjadi isu nasional. Media internasional juga menulisnya. Mengapa sampai begini? Tidak lain dan tidak bukan karena ini Aceh. Karena ini negeri yang tak pernah padam dari bara permusuhan sejak abad lalu.
Saya tidak ingin menganalisa kasus dalam opini ini. Saya hanya terkejut kejadian ini remeh saja bagi para pemimpin Aceh. Semua juga tahu saat ini otoritas pemerintah secara formal di tangan Gubernur. Anehnya saat kejadian sebesar ini beliau tidak berada di Aceh. Pada hari kejadian beliau berangkat ke China.
Saya tidak tahu berapa urgent-nya kunjungan ke sana. Karena menurut saya kasus ini lebih penting ditangani. Kenapa? Karena ini adalah Aceh. Kenapa dengan Aceh? Karena ini negeri bekas konflik. Apa hubungannya? Karena dua TNI ditembak mati dengan senjata api. Emangnya kenapa? Karena kejadian ini persis sama dengan kejadian di masa konflik dulu.
Nah, seharusnyalah Gubernur selaku pemimpin tertinggi daerah lebih berempati. Mengambil langkah-langkah yang menyejukkan. Bukan malah melancong ke China dengan alasan apapun. Tak cukupkah sepanjang tiga tahun dengan anggaran puluhan miliar untuk melancong atas nama investor. Apa hasilnya? Ke mana staf ahli, tim asistensi, staf khusus dan para pejabat pembantu beliau.
Apakah mereka tidak mengingatkan Gubernur. Apakah mereka tidak malu dengan semua jabatan itu? Ataukah mereka juga kehilangan nurani karena empuknya fasilitas-fasilitas jabatan itu. Sehingga tanpa malu menampilkan foto dan status di media sosial tentang keberadaan mereka di negeri nun jauh itu.
Pangdam sampai tadi malam masih di TKP, mengunjungi prajurit dan rakyat di sana. Apakah ini tidak cukup menampar wajah pemimpin kita. Pangdam adalah orang lain yang berada di Aceh karena diperintahkan atasannya. Sementara pemimpin kita mengemis kepada rakyat untuk jabatan itu.
Nah pantaskah pemimpin kita meninggalkan Aceh ketika situasi ini? Situasi yang membangkitkan lagi memori sebelum perdamaian. Tak sadarkah si mereka itu jabatan ini hasil perdamaian. Tak sadarkah diri mereka produk konflik yang berbuah manis setelah damai.
Duhai Aceh, kutukan apa yang telah menimpa tanahmu. Tidak adakah ampunan sehingga kami engkau kutuk melalui tangan pemimpin kami.
Tuhan, ampunilah kami
Cabutlah kutukan atas bumi kami
Bila berkenan Tuhan ketuklah hati pemimpin kami
Tuhan kembalikan nurani mereka
Tuhan, engkau pasti tahu kami mengamanahkan mereka untuk menjaga kami, bukan menjaga keluarga dan kroninya.
Tuhan hidupkan hati dan mata orang-orang di sekeliling pemimpin kami agar menuntun pemimpin kami kembali ke pangkuan kami
Tuhan kami lelah,dan hampir putus asa, kasihanilah kami
Tuhan jangan engkau kirim cobaan, peringatan dan kutukan kepada kami melalui tangan pemimpin kami.
Tuhan kabulkan doa kami yang baik-baik untuk pemimpin kami.
Tuhan kami siap menanggung dosa pemimpin kami.
Tuhan jangan kutuk mereka karena akan membuat sengsara kami
Tuhan dengarkan dan embuskan kebaikan dalam hati si mereka itu.
Tuhan kabulkanlah. [Portalsatu]