ACEH TIMUR - Forum Pemuda dan Anak Bangsa Aceh Timur mendesak agar DPRK segera menindak lanjuti hasil temuan Tim Pansus DPRK Aceh Timur terkait sengketa agraria di wilayah Aceh Timur. Sebab persoalan agraria banyak menyebabkan konflik antara masyarakat dengan pengusaha yang tak jarang juga melibatkan aparat keamanan.
Hal tersebut dikatakan Ketua Forum Pemuda dan Anak Bangsa Aceh Timur, R. Wiranata kepada lintasatjeh.com, di Bireum Bayeun, Sabtu (14/3/2015).
Wiranata menyebutkan kalau beberapa waktu terakhir ini kita mendapati fakta yang menyedihkan, bahwa konflik agraria kembali mencuat dipadu dengan penggunaan kekerasan. Meskipun era pemerintahan telah beberapa kali berganti, namun jujur harus diakui bahwa hingga saat ini belum terlihat arah kebijakan yang jelas dalam upaya menyelesaikan konflik agraria yang multi-dimensi.
"Konflik agraria itu sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Jika kita tengok kembali ke belakang, konflik agraria sudah terjadi sejak masa penjajahan Belanda yang berawal saat pemerintah Belanda memberikan hak erfpacht, yaitu hak guna usaha yang memberikan jalan kepada perkebunan-perkebunan besar untuk menggunakan tanah," kata dia.
Lanjutnya, dikeluarkannya hak ini berdampak pada penggusuran usaha pertanian rakyat yang menyebabkan munculnya perlawanan rakyat. Salah satunya adalah gerakan petani pada tahun 1888 yang terjadi di Banten.
Pada tahun 1961, berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, pemerintah berusaha untuk melakukan land reform, namun usaha tersebut gagal, karena kekuatan anti land reform (baik domestik maupun asing) berusaha untuk menghalangi. Pada pemerintahan Orde Baru, jiwa Undang-Undang Agraria kolonial 1870 seolah muncul kembali. Pada masa ini kebijakan pertanahan lebih mengutamakan pemerintah dan kelompok pemodal daripada kepentingan rakyat pada umumnya.
"Akibatnya, peran negara untuk mendistribusikan tanah kepada masyarakat secara adil dan merata tereduksi. Pada era Reformasi, kasus-kasus agraria yang tidak terselesaikan dan dipendam pada masa pemerintahan Orde Baru seolah-olah meledak. Letupan-letupan konflik agraria dalam skala kecil hingga besar menyebar di berbagai daerah di Indonesia," jelasnya.
Pada 2001, KPA mencatat setidaknya ada lebih 2.800 konflik Agraria di Indonesia yang sifatnya struktural. Yaitu konflik yang melibatkan penduduk setempat, disatu pihak yang berhadapan dengan kekuatan pemodal dan atau instrumen negara.
"Menurut data BPN jumlah pengaduan konflik tanah dari tahun 2000 hingga 2005 ada 5.139 pengaduan. Pada April 2010, ada 7.000-an kasus agraria di Mahkamah Agung. Untuk itu, kami menghimau agar temuan Tim Pansus segera ditindaklanjuti secara cepat dan sesegera mungkin oleh DPRK Aceh Timur. Sehingga tidak menambah daftar panjang konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan, lebih penting lagi, tidak ada konflik yang justru akan menimbulkan korban jiwa apabila terjadi aksi massa," demikian jelas R.Wiranata. [ar]