JAKARTA - Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra)
menolak wacana pemberian dana hingga Rp 1 triliun dari APBN kepada partai
politik setiap tahun. Alasannya, praktik parpol selama ini tidak transparan dan
dikhawatirkan terjadi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan.
Koordinator
Advokasi dan Investigasi Fitra Apung Widadi mengatakan, ada sembilan alasan
pihaknya menolak wacana yang dilontarkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
itu.
Pertama,
parpol belum mempunyai perangkat transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan dana dari APBN. Riset Fitra menunjukkan bahwa penggunaan bantuan
keuangan parpol pada tahun 2010 tidak transparan dan tidak akuntabel.
"Bendahara
partai biasanya hanya berfungsi sebagai 'kasir', tanpa pencatatan keuangan yang
jelas. Laporan penggunaan keuangan dari APBN tidak sesuai dengan peruntukan.
Contoh, jika bantuan APBD harusnya untuk pendidikan politik, itu justru habis
untuk operasional kantor," kata Apung dalam rilis yang diterima
Kompas.com, Selasa (10/3/2015).
Selain
itu, pencatatan keuangan parpol masih bersifat tradisional dan belum sesuai
standar permendagri atau kantor akuntan publik. Terkait akuntabilitas, sebagian
besar partai politik biasanya terlambat memberikan pertanggungjawaban kepada
Kemendagri sehingga semakin mempersulit proses audit yang dilakukan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).
Masih
terkait akuntabilitas, Apung menambahkan, mekanisme audit masih melalui
pengguna anggaran, yaitu Kemendagri. BPK tidak bisa langsung mengaudit parpol.
Partai juga belum mempunyai petugas pengelola informasi dan data (PPID) sesuai
dengan amanat UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 sehingga
sangat sulit untuk mengaudit dana parpol dari APBN.
"Orang
yang menangani keuangan biasanya tidak jelas dan selalu berganti,"
ujarnya.
Alasan
kedua, rencana alokasi tanpa perhitungan kursi justru membuat partai malas
bekerja untuk rakyat. Rencana pemberian dana yang besarnya sama setiap partai
bertentangan dengan prinsip keadilan sesuai dengan perolehan suara.
"Selain
itu, hal ini dapat menjadikan partai politik malas bekerja untuk rakyat. Toh
setiap tahun mendapat alokasi anggaran dari APBN. Hal ini juga akan memicu
lahirnya partai baru yang lebih pragmatis hanya sebagai penadah bantuan
keuangan parpol dari APBN," kata Apung.
Alasan
ketiga, oligarki parpol di Indonesia saat ini masih kuat. Di sisi lain,
demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas tidak terbangun. Akibatnya,
bukannya meminimalkan korupsi, anggaran senilai Rp 1 triliun justru tidak akan
efektif.
Menurut
Apung, potensi ini sangat kuat karena mekanisme kerja, pencatatan keuangan, dan
mekanisme audit secara internal tidak dimiliki oleh partai. Dikhawatirkan, jatah
dari APBN ini akan menjadi bancakan elite parpol.
Alasan
keempat, jatah untuk parpol tidak sesuai dengan pendekatan anggaran berbasis
kinerja. Kinerja parpol masih buruk. Sejak 2003, Indonesia memiliki
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang telah mengubah
paradigma penganggaran dari sistem tradisional yang berorientasi pada input
atau anggaran menjadi anggaran berbasis kinerja.
Anggaran
berbasis kinerja yang dimandatkan dalam UU ini adalah anggaran yang
mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja dari alokasi biaya atau input yang
ditetapkan. Namun, parpol saat ini selalu berkonflik dan mengutamakan
kepentingan kelompoknya sendiri.
"Jelas
tidak layak mendapatkan jatah yang sangat tinggi," kata Apung.
Alasan
kelima, jatah Rp 1 triliun dari APBN justru akan menjadi bentuk korupsi baru.
Dengan kondisi parpol yang belum mempunyai perangkat transparansi dan
akuntabilitas, ditambah dengan perilaku politisinya yang masih koruptif dan
pengelolaan partai yang masih oligarki, kondisi tersebut justu akan menjadikan
bantuan keuangan sebagai sarana korupsi baru bancakan dana keuangan parpol.
Alasan
keenam, wacana ini sangat menyakitkan rakyat di tengah krisis pangan dan
tingginya harga beras. Sebagai contoh, jika 10 partai yang ada mendapatkan Rp 1
triliun per partai, maka akan ada alokasi Rp 10 triliun per tahun.
"Padahal,
alokasi untuk cadangan beras pemerintah di dalam APBN 2015 pada Kementerian
Pertanian saja hanya Rp 1,5 triliun. Cadangan stabilisasi pangan hanya Rp 2
triliun, sementara cadangan stabilitas pangan Rp 0. Hal ini menandakan
pemerintah lebih berpihak kepada elite dibandingkan kepada rakyatnya,"
kata Apung.
Alasan
ketujuh, terkait proses audit oleh BPK, konflik kepentingan dikhawatirkan akan
terjadi lantaran beberapa anggota BPK berlatar belakang politisi. Hal ini, kata
dia, tentu saja akan sangat mengkhawatirkan dalam level akuntabilitas.
Dana
yang begitu besar, kata Apung, tentunya akan sulit diaudit, apalagi jika
auditornya ternyata berlatar belakang kader parpol. Jadi, pertanggungjawaban
bisa saja tidak berjalan secara terbuka, tetapi justru cenderung transaksional.
Alasan
kedelapan, wacana ini akan memancing parpol di daerah melakukan hal yang sama,
menaikkan anggaran bantuan. Dampaknya, hal itu semakin memiskinkan keuangan
daerah.
"Dari
hal ini kita dapat merasakan bahwa wacana ini sangat meresahkan," ujarnya.
Alasan
terakhir, lemahnya penegakan hukum, terutama ketika KPK dikriminalisasi,
berakibat pada potensi korupsi yang semakin tinggi. Saat ini, kata dia, perilaku
politisi yang tersangkut korupsi semakin "menggila" dengan melakukan
proses praperadilan terhadap kasusnya.
"Nah,
jika korupsi terjadi dalam dana bantuan keuangan parpol, maka kemungkinan akan
terjadi serangan balik dari partai politik kepada penegak hukum. Serangan balik
ini dilakukan untuk mempertahankan citra partai politik, sekalipun uang rakyat
telah dikorupsi," pungkas Apung. [Kompas]