JAKARTA
– Umumnya, setiap Senin pagi sekolah menggelar upacara
bendera. Tetapi, siswa-siswi di sekolah ini baru pertama kali menggelar upacara
bendera selama 20 tahun.
Jika
bukan karena inisiatif Eko Rizqa Sari, hal tersebut juga tidak akan terwujud.
Bersama PAMTAS dari kesatuan 100/Raider, guru Sarjana Mendidik di Daerah
Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T) ini melatih siswa-siswi SD di Kecamatan
Kaya Selatan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, menyelenggarakan upacara
bendera perdana selama 20 tahun usia sekolah.
"Suasana
terasa khusyuk dan syahdu ketika bendera ditarik dan para bocah-bocah kecil itu
menyanyikan lagu Indonesia Raya," kata Eko, seperti dinukil dari laman
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Kamis (12/2/2015).
Eko
juga menceritakan kisah yang cukup mengharukan saat upacara bendera 17 Agustus.
Ketika itu hujan deras, dan sesuai prosedur hanya Pasukan 8, yakni tim pembawa
bendera yang bertugas untuk menurunkan bendera.
"Saat
mengetahui hanya sebagian kecil saja yang menurunkan bendera ada beberapa anggota
paskibra yang menangis dan merajuk agar bisa ikut menurunkan bendera,"
katanya.
Sarjana
Ilmu Geografi ini merasa cukup terharu dan bangga lantaran merasakan tumbuhnya
bibit-bibit nasionalisme pada diri siswa di daerah perbatasan tersebut. Dia
mengaku beruntung dapat merasakan pengalaman luar biasa ketika mengabdi di
perbatasan Tanah Air.
"Kami
berharap agar kuncup-kuncup itu menjadi bunga yang bermekaran, menghiasi pagar
terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia," tuturnya.
Kisah
tentang upacara bendera hanyalah satu dari sekian banyak pengalaman yang
dipetik Eko selama menjadi guru SM3T di pedalaman Borneo. Selama setahun, Eko
ditempatkan sebagai guru di SMAN 9 Malinau, Long Ampung, Kayan Selatan,
Malinau, Kalimantan Utara.
Selain
nasionalisme, hal lain yang mengusiknya adalah persebaran pendidikan yang masih
belum merata di Tanah Air. Misalnya dari segi fasilitas dan akses ke sekolah.
Dia bercerita, hatinya trenyuh ketika tiba pertama kali di sekolah tempatnya
mengabdi.
"Bangunan
sekolah masih terbuat dari kayu yang mulai menua, tidak ada listrik, dan
gurunya sering tidak masuk karena mereka hanya honorer," kata Eko.
Sekolah
di daerah yang langsung dengan negara bagian Sarawak, Malaysia ini juga sulit
ditempuh. Butuh tiga hari perjalanan darat dari Samarinda guna mencapai
Malinau. Jika menggunakan pesawat perintis, maka jarak tersebut dapat ditempuh
hanya dengan waktu 1,5 jam dari kota kabupaten.
Salah
satu ketimpangan pendidikan yang dirasakannya adalah, ketika di pulau Jawa para
pelaku pendidikan sibuk meributkan kurikulum 2013, di daerahnya sudah merupakan
perstasi hanya dengan kehadiran siswa dan guru.
"Janganlah
salahkan pula jika mereka tak tahu siapa presidennya atau bagaimana cara
menyanyi Indonesia Raya jika sinyal, siaran radio, buku-buku atau guru tak
sampai ke tempat mereka tinggal," ujar Eko. [okezone]