-->

SD Ini Gelar Upacara Bendera Pertama Kali dalam 20 Tahun

12 Februari, 2015, 17.15 WIB Last Updated 2015-02-12T10:15:34Z
JAKARTA – Umumnya, setiap Senin pagi sekolah menggelar upacara bendera. Tetapi, siswa-siswi di sekolah ini baru pertama kali menggelar upacara bendera selama 20 tahun.

Jika bukan karena inisiatif Eko Rizqa Sari, hal tersebut juga tidak akan terwujud. Bersama PAMTAS dari kesatuan 100/Raider, guru Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T) ini melatih siswa-siswi SD di Kecamatan Kaya Selatan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, menyelenggarakan upacara bendera perdana selama 20 tahun usia sekolah.

"Suasana terasa khusyuk dan syahdu ketika bendera ditarik dan para bocah-bocah kecil itu menyanyikan lagu Indonesia Raya," kata Eko, seperti dinukil dari laman Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Kamis (12/2/2015).

Eko juga menceritakan kisah yang cukup mengharukan saat upacara bendera 17 Agustus. Ketika itu hujan deras, dan sesuai prosedur hanya Pasukan 8, yakni tim pembawa bendera yang bertugas untuk menurunkan bendera.

"Saat mengetahui hanya sebagian kecil saja yang menurunkan bendera ada beberapa anggota paskibra yang menangis dan merajuk agar bisa ikut menurunkan bendera," katanya.

Sarjana Ilmu Geografi ini merasa cukup terharu dan bangga lantaran merasakan tumbuhnya bibit-bibit nasionalisme pada diri siswa di daerah perbatasan tersebut. Dia mengaku beruntung dapat merasakan pengalaman luar biasa ketika mengabdi di perbatasan Tanah Air.

"Kami berharap agar kuncup-kuncup itu menjadi bunga yang bermekaran, menghiasi pagar terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia," tuturnya.

Kisah tentang upacara bendera hanyalah satu dari sekian banyak pengalaman yang dipetik Eko selama menjadi guru SM3T di pedalaman Borneo. Selama setahun, Eko ditempatkan sebagai guru di SMAN 9 Malinau, Long Ampung, Kayan Selatan, Malinau, Kalimantan Utara.

Selain nasionalisme, hal lain yang mengusiknya adalah persebaran pendidikan yang masih belum merata di Tanah Air. Misalnya dari segi fasilitas dan akses ke sekolah. Dia bercerita, hatinya trenyuh ketika tiba pertama kali di sekolah tempatnya mengabdi.

"Bangunan sekolah masih terbuat dari kayu yang mulai menua, tidak ada listrik, dan gurunya sering tidak masuk karena mereka hanya honorer," kata Eko.

Sekolah di daerah yang langsung dengan negara bagian Sarawak, Malaysia ini juga sulit ditempuh. Butuh tiga hari perjalanan darat dari Samarinda guna mencapai Malinau. Jika menggunakan pesawat perintis, maka jarak tersebut dapat ditempuh hanya dengan waktu 1,5 jam dari kota kabupaten.

Salah satu ketimpangan pendidikan yang dirasakannya adalah, ketika di pulau Jawa para pelaku pendidikan sibuk meributkan kurikulum 2013, di daerahnya sudah merupakan perstasi hanya dengan kehadiran siswa dan guru.

"Janganlah salahkan pula jika mereka tak tahu siapa presidennya atau bagaimana cara menyanyi Indonesia Raya jika sinyal, siaran radio, buku-buku atau guru tak sampai ke tempat mereka tinggal," ujar Eko. [okezone]
Komentar

Tampilkan

Terkini