JAKARTA - Badan Narkotika Nasional (BNN) menilai maklum dengan
sikap Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang memprotes rencana hukuman mati yang
akan dilakukan Indonesia. Namun perlu diingat, bahwa hukuman mati itu tekad
bulat Indonesia sebagai negara berdaulat dalam menegakan supremasi hukum.
Staf
Ahli BNN Bidang Hukum dan Internasional, Bali Moniaga, mengatakan tidak
terkejut apabila PBB kemudian mengecam dan meminta Indonesia membatalkan
eksekusi mati gelombang dua yang akan diterapkan kepada 12 narapidana vonis
hukuman mati.
"Kita
tidak kaget dan memakluminya, karena posisi mereka begitu," kata Moniaga
saat berbincang dengan detikcom, Minggu (15/2/2015).
Menurut
dia, memang tugas PBB sebagai organisasi dunia berkewajiban mendorong
negara-negara tidak melakukan hukuman mati. Namun, tentu berbeda bila dilihat
dari kacamata Indonesia dimana hukuman mati tersebut dibutuhkan untuk memutus
mata rantai peredaran narkotika.
"Saat
ini Indonesia sudah darurat narkoba, masa kita tidak anggap itu sebagai serious
crime? maka dari itu kita apply serious punisment yang paling tinggi, yaitu
dead penalty," jelasnya.
Selain
itu, ujar Moniaga, tidak ada konsensus internasional mengenai hukuman mati
harus dihapuskan meski beberapa negara sudah menghapus. "Jangan salah melihatnya,
Indonesia tidak harus turut dengan negara-negara yang telah menghapus hukuman
mati, bercermin pada kepentingan negara masing-masing, tidak bisa
disamaratakan," kata pria asal Sulawesi Utara ini.
Moniaga
mengatakan, meski PBB mengelaurkan pernyataan resmi terkait hukuman mati namun
hal tersebut tidak mematikan langkah Indonesia dalam upaya penegakan hukum.
"Yang harus disadari PBB bahwa hukuman mati ada di kedaulatan wilayah
masing-masing negara, jadi bukan milik PBB," ujarnya.
Dari
beberapa negara anggota PBB, berdasarkan Resolusi A/Res/69/186, 18 Desember
2014, sebanyak 72 negara masih menerapkan hukuman mati terkait kejahatan
serius, termasuk narkotika di dalamnya. Rinciannya adalah 117 negara mendukung
moratorium hukuman mati, 38 negara menolak dan 34 abstain yang berarti masih
menerapkan namun tidak menjalankan eksekusi mati.
"Di
Asia Tenggara sendiri hanya Myanmar dan Filiphina yang menolak eksekusi
mati," kata Moniaga, mencontohkan ada tujuh negara bagian Amerika Serikat
yang masih melaksanakan eksekusi mati, tercatat 2014 ada 35 orang narapidana
yang dihukum mati. [detik]