BANDA ACEH - Upaya
pemberantasan korupsi tidak dapat dinilai hanya dari peningkatan Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) saja, tapi juga dari keberpihakan pemerintah dan DPR
dalam mewujudkan regulasi yang pro pemberantasan korupsi. Pernyataan tersebut
diungkapkan oleh anggota badan pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)
Baihaqi dalam diskusi tentang RUU KUHAP di kantor MaTA, Banda Aceh, baru-baru
ini.
Kekhawitaran
soal pelemahan KPK itu bukan tanpa alasan, menurutnya, beberapa produk
legislasi yang berpotensi melemahkan KPK akan kembali masuk ke dalam Prolegnas
2015-2019. "Dalam proses pelemahan KPK melalui legislasi ini, RUU KUHAP
dan RUU KUHP menjadi sorotan utama. Karena ada beberapa poin dalam RUU KUHAP
yang berpotensi melemahkan KPK," sebut Baihaqi.
Dalam
RUU KUHAP, jelas Baihaqi, KPK akan diberi wewenang penghentian penuntutan
perkara dimana sangat bertentangan dengan UU KPK. "Dalam RUU KUHAP ini
juga memberikan kewenangan yang sangat besar terhadap Hakim Pemeriksa
Pendahuluan (HPP). Dalam RUU KUHAP, HPP memiliki kewenangan menangguhkan
penahanan, memberikan izin atau tidak terhadap penyitaan, penyadapan, dan
membatalkan tindak penyadapan."
Poin
lain yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi dan KPK, urainya, adalah
putusan bebas terdakwa tindak pidana korupsi di tingkat pengadilan pertama atau
banding, JPU tidak bisa melakukan kasasi di Mahkamah Agung.
Sementara
itu, dipandang juga bahwa RUU KUHP berpotensi melemahkan upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Mawardi
Ismai, akademisi Hukum dari Universitas Syiah Kuala. Dia menyebutkan 2
potensi yaitu melalui pengaturan delik korupsi dan ancaman hukuman yang lebih
ringan. "Ada delik korupsi yang dihilangkan atau dialihkan menjadi
delik lain. Hakim yang menerima suap dimasukkan dalam tindak pidana jabatan.
Juga gratifikasi dihilangkan, yang ada hanya suap," jelasnya.
Aktivis
senior Aceh, Wiratmadinata sebagai salah seorang peserta diskusi, menyebutkan,
RUU KUHAP tidak selaras dengan komitmen negeri ini yang sudah menjadikan
pemberantasan korupsi sebagai gerakan dengan kekuatan penuh. “Sudah menjadi komitmen bangsa bahwa
kita harus serius melawan korupsi sebagai salah satu kejahatan luar biasa
dengan mengggunakan perangkat dan gebrakan yang luar biasa juga,” ungkapnya.
Lebih
lanjut, Wira menyebutkan, di negara yang maju dan relatif rendah korupsinya,
institusi seperti KPK malah senantiasa diperkuat bukan justru dilemahkan. Jadi
sangat aneh apabila di Indonesia dengan aparatur penegak hukum lainnya (Polri
dan Jaksa) yang dipandang belum optimal dengan tingkat korupsi yang sangat
tinggi, malah melakukan gebrakan yang sangat tidak populer seperti RUU KUHAP.
Melihat
upaya-upaya pelemahan upaya pemberantasan korupsi tersebut, MaTA meminta
pemerintah menarik kembali RUU KUHAP yang sudah dibahas di DPR pada periode
2009 – 2014 untuk
dibahas dengan lebih mendalam dan melibatkan seluruh pihak terkait, termasuk
KPK. “Apabila RUU
KUHAP tersebut disahkan maka sebenarnya merupakan sebuah langkah mundur gerakan
pemberantasan korupsi di Indonesia. Dan ini akan berdampak pada semakin
melemahnya pemberatasan korupsi hingga ke daerah, termasuk di Aceh,” sebut Baihaqi.
Oleh
karena itu, MaTA juga meminta agar perumusan dan pembahasan RUU KUHP dan RUU
KUHAP yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah periode 2014-2019, dengan proses
yang terbuka, partisipatif dan akuntabel serta terbebas dari konflik
kepentingan. (01)