Kisah ini sengaja saya tulis, karena ini merupakan bagian cerita hidup mantan kombatan, dengan harapan pengalaman masa lalu ini menjadi inspirasi kita hari ini untuk melanjutkan kehidupan di alam perdamaian.
Kisah ini merupakan perjuangan kawan-kawan aktivis dan pemuda Aceh mulai tahun 1998, 1999 dan 2000, sampai berahir dengan Damai MoU Helsinki, begitu pahitnya perjuangan kawan2 kita dulu.
Sambil menyelesaikan kuliahnya, tapi para aktivis yang pro perjuangan tetap selalu eksis dalam membantu perjuangan Aceh.
Ada beberapa nama aktivis di masa perjuangan tahun 1998 yang masih saya ingat dan saya kagumi sampai hari ini, baik yang dari Pidie, Bireuen, Barat Selatan, Pase, Aceh Timur dan Banda Aceh.
Mereka semua adalah adik atau abang-abang kita yang telah mengorbankan pikiran, tenaga bahkan nyawa sekalipun untuk perjuangan Aceh.
Tapi aktivis yang satu ini beda dari yang lain, karena penyiksaan yang dialaminya semasa dalam tawanan dulu memang lumayan parah. Pihak aparat menuduh Tuwanku MTA karena selalu mempersulit persidangan, waktu itu, misalnya dengan cara tidak mau disidangkan dengan Hukum Pancasila dan tidak mau mengakui kalau dirinya warga Negara RI.
Kisah pahit dan pilu yang dialami oleh Tuwanku MTA tidak jauh beda dengan apa yang dialami oleh tawanan perang lainnya dari pasukan GAM/kombatan yang ditangkap oleh aparat TNI-Polri saat Darurat Militer di Aceh dulu.
Tuwanku Muhammad MTA alias Muhammad Abdullah alias Teuku Muhammad Abdul Mutaleb alias Ampon Muhammad adalah aktivis pro perjuangan Aceh. Pada tahun 1998 sampai hari ini, MTA sering juga mengeluarkan statement dan kritikan pedas terhadap kinerja pemimpin Aceh yang rata-rata berasal dari para mantan elite GAM.
Semangat yang dimiliki oleh aktivis'98 tidak jauh berbeda dengan semangat Tentara GAM yang bersenjata dan terlatih. Walaupun sudah mengalami berbagai penyiksaan namun semangat juang MTA tidak pernah pudar.
Inilah nampak jelas perjuangan yang penuh keikhlasan, sungguh hebat dan bersemangat kawan-kawan aktivis dulu, walaupun mereka tidak dipersenjatai dan tidak pernah melakukan latihan militer layaknya TNA, namun semangat juang mereka (aktivis) tidak kalah dibandingkan dengan pejuang-pejuang GAM yang bersembunyi di luar Negeri dulu.
Karena mereka murni masyarakat sipil biasa yang siap membela harkat dan martabat rakyat Aceh dengan cara-cara diplomasi, lobi-lobi politik yang sesuai dengan Undang-Undang dan selalu membela Hak-Hak Azasi Manusia.
Kisah ini saya tuliskan, bukan bermaksud menguak siapa yang salah ataupun mengorek luka lama, namun kita bisa mengambil hikmahnya bahwa semangat membela harkat dan martabat rakyat Aceh. Selain itu, harapannya agar para stake holder yang ada di Aceh bisa bekerja dengan amanah sesuai cita-cita perjuangan demi masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Salam perdamaian, semoga tetap kompak dan bersatu teman-teman aktivis Aceh, SIRA, Mappra, SMUR, dll.
Penulis: Imran Nisam Seorang Mantan Kombatan Aceh yang cinta perdamaian.