BANDA ACEH - Pemerintah Aceh mengalokasikan Belanja Daerah pada
RAPBA Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp 11,7 Triliun. Pemerintahan saat ini
mengalokasikan sebesar Rp 5,4 Triliun untuk Belanja Publik atau sebanyak 46%
dari total Belanja Daerah. Sisanya lebih besar diperuntukan untuk Belanja
Pegawai (Belanja Tidak Langsung). Artinya Pemerintah saat ini belum berhasil
mempresentasikan angaran sebesar-besarnya untuk pemenuhuan kesejahteraan
rakyat.
GERAK
Aceh melali Kadiv Kebijakan Publik melalui Pers rilisnya kepada AJNN, Senin
(05/1) mengatakan, Angka tersebut tertuang dalam Buku I pada Prioritas dan
Plafon Anggaran Sementara (PPAS – APBA) Tahun Anggaran
2015. Dari anggaran tersebut disinyalir sebesar Rp 5,2 Triliun anggaran yang
tersebar di tiga belas Pos Anggaran sarat dengan potensi korupsi dan dinilai
tidak realistis.
Alokasikan
anggaran sebesar Rp 283,8 Milyar untuk Penyertaan Modal Investasi Daerah.
Pemerintah
Aceh dinilai terlalu berani dengan mengalokasikan terlalu besar untuk BUMD baru
yang seharusnya fokus pada penguatan organisasi dan penguatan manajemen. Di
lain hal penyertaan modal untuk Microfinance for Innovation Fund (MIF) sebesar
Rp 63,8 Milyar dimana asumsi penerimaan pada Lain-lain Pendapatan yang Sah
nilainya sama. Kalaupun anggaran itu digunakan untuk penyaluran kreditnya
seharusnya nilai pendapatan yang diperoleh harus lebih besar.
Alokasi
anggaran untuk KORPRI sebesar Rp 5,6 Milyar dinilai hanya mewarisi pola
penganggaran masa lalu.
Lembaga
ini tidak efektif lagi dan hanya menyebabkan pemborosan anggaran. Lihat saja
lembaga ini hanya diperuntukan oleh orang-orang yang dianggap “tidak
terpakai” dalam pemerintah lagi atau pensiunan. Lembaga
paguyuban ini tidak memiliki landasan yang kuat jadi untuk apa dipertahankan.
Ada
empat item Belanja program yang sarat dengan potensi korupsi berupa Belanja
Hibah/Bansos, Belanja tak terduga dan Bantuan Alokasi Khusus mencapai Rp 4,4
Triliun. Padahal KPK sudah “mewarning”
peruntukan alokasi tersebut harus bisa dicegah dari penyalahgunaan sebagaimana
surat edaran kepada seluruh Gubernur melalui surat Nomor B-14/01-15/01/2014.
Terlebih lagi perlu dipertanyakan perencanaan mekasnisme penyaluran dan
pengawasan di lapangan.
Alokasi
Anggaran untuk Kantor Penghubung Pemerintah Aceh di Jakarta sebesar Rp 10
Milyar dinilai pemborosan anggaran yang hanya digunakan oknum pejabat dan
kelompoknya saja.
Pengalokasian
anggaran untuk pengadaan tanah/ kawasan sebesar Rp 222 milyar yang berada pada
Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh (DPKA).
Dinas
Sosial mengalokasikan anggaran sebesar Rp 53 Milyar untuk Program Pemberdayaan
korban bencana sosial daerah konflik. Anehnya anggaran sebesar itu dialokasikan
untuk enam juta korban konflik. Hal ini juga menjelaskan perencanaan yang
keliru sehingga penyelesaiaan reintregrasi belum selesai-selesai hingga saat
ini.
Pengalokasian
anggaran di Badan Investasi dan Promosi Aceh (Bainprom) sebesar Rp 5,19 milyar
untuk program Peningkatan Promosi kerjasama investasi dan pengembangan unggulan
daerah dinilai tidak memiliki dampak apapun terhadap kemajuan investasi daerah.
Setiap program yang diusulkan seharunya memiliki indikator yang jelas tidak
hanya menghabiskan anggaran untuk kegiatan seremonial saja tanpa ada
korelasinya.
Selanjutnya,
pengalokasian anggaran untuk pemeliharaan peralatan dan perlengkapan rutin di
Biro umum yang totalnya sebesar Rp 8,5 Milyar juga dinilai sarat dengan
pemborosan anggaran. Perlu dipertanyakan juga terkait kegiatan Koordinasi dan
Sinkronisasi Dana Berbantuan yang dialokasikan sebesar Rp 5,1 Milyar pada Biro
Administrasi dan Pembangunan. Termasuk juga kegiatan Koordinasi dan Pembinaan
Kesejahteraan Sosial yang dialokasikan sebesar Rp 700 Juta pada Biro
Keistimewaan dan Kesejahteraan Sosial.
Pemborosan
lainnya terdapat di alokasi Belanja Gaji Pegawai dan Tambahan Penghasilan PNS
yang terdapat di tiga SKPA. Alokasi di Sekretariatan Dewan sebesar Rp 5,9
Mliyar. Alokasi di Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebesar Rp 2,5 Milyar.
Dan di Sekretariat Daerah Provinsi yang mencapai Rp 88 Milyar.
Sikap
GeRAK ;
1.Mendesak
Gubernur Aceh untuk mempresentasikan APBA Tahun Anggaran 2015 untuk Belanja
Publik dan mengambil sikap untuk pemangkasan anggaran birokrasi yang dinilai
hanya pemborosan.
2.
Mendesak Tim Anggaran Pemerintahan Aceh untuk merasionalisasikan alokasi
anggaran pada Tahun Anggaran 2015 yang sarat dengan potensi korupsi dan tidak
memenuhi azas perencanaan anggaran yang efektif dan efisien.
3.
Mendesak Badan Anggaran di DPRA untuk menulusuri pos-pos anggaran yang rawan
terjadinya korupsi. [Ajnn]