JAKARTA – Pembangunan pertanian dinilai masih memosisikan petani sebagai objek. Keputusan Presiden Joko Widodo untuk mengerahkan 50.000 Babinsa sebagai penyuluh pertanian, memberikan indikasi bahwa pemerintah masih menganggap petani sebagi obyek dan perlu diberikan pendampingan top-down. Hal itu disampaikan oleh ahli pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa yang juga anggota tim transisi Jokowi.
Ia mengkritik keterlibatan Babinsa dalam pembangunan pertanian. Menurut Andreas, banyak hal melenceng yang dilakukan Presiden Jokowi dari konsep pembangunan pertanian, yang dulu disusun bersama dengan pokja pangan tim transisi.
Misalnya, sebut Andreas, banyak target-target yang muncul belakangan, diduganya mengakomodir para 'pembisik'. Ketika dikonfirmasi mengenai, para 'pembisik' tersebut, Andreas hanya menyebut banyak pihak yang berkepentingan dengan program pertanian.
"Saya khawatir pemerintah terjebak dalam target dari si pembisik yang terlalu bombastis sehingga melakukan segalanya 'at all cost'. Apalagi dengan target surplus 20 juta ton beras," kata dia kepada Kompas.com, Jumat (16/1/2015).
Selain target produksi 20 juta ton beras, Andreas menuturkan, target seperti swasembada pangan pada 2017 juga dinilai sangat sulit direalisasikan.
Tim transisi, kata Andreas, tidak pernah sama sekali menyebut bahkan menaksir swasembada pangan bisa dicapai pada 2017. Ia khawatir, cara apapun akan ditempuh, termasuk mengundang lebih banyak investor asing untuk menggarap lahan pertanian di Indonesia – demi mengejar target swasembada pangan.
Padahal, lanjut Andreas, hakikat kedaulatan pangan adalah land reform, dimana tanah pertanian benar-benar digarap oleh petani Indonesia. Begitu pula dengan keterlibatan babinsa yang dia anggap justru jauh dari konsep menuju kedaulatan pangan.
Menurut Andreas, jika persoalannya adalah kurangnya tenaga penyuluh, sebetulnya pokja pangan tim transisi sudah menyusun konsep untuk melibatkan petani pelopor, para dosen pertanian, serta peneliti.
"Kalau hanya kurang 20.000, jumlah petani pelopor kita ada jutaan. Sangat cukup untuk diberdayakan untuk membantu petani lain. Di negara-negara maju, yang namanya penyuluh pertanian itu, seperti di Amerika Serikat, bahkan adalah para profesor," ucap Andreas.
Tentu, Andreas menyadari, peningkatan produksi pertanian pangan khususnya padi harus dilakukan untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan konsumsi. Hanya saja, dia kembali menegaskan, produksi pertanian dengan sendirinya akan meningkat, jika pemerintah fokus pada kesejahteraan petani, bukan kebalikannya.
"Kalau orientasinya target produksi, swasembada saya yakin gagal. Kalau petani sejahtera, mereka akan bergairah dan produksi pun otomatis akan mengikuti. Kalau dengan ini (mengerahkan Babinsa) sama saja petani dijadikan obyek, pokoknya petani nurut. Yang terjadi sekarang ini seperti itu," ujar Andreas.
Kemarin, Rabu (15/1/2015) Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, saat ini Indonesia defisit 20.000 penyuluh pertanian. Beruntung, kata dia, ada bala bantuan dari TNI Angkatan Darat sebanyak 50.000 personel sebagai tenaga penyuluh pertanian.
"Akhirnya, salam hormat kepada KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat), kita kerjasama, jangan ada egosektoral," kata Amran, di Desa Glagahwangi, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Amran dalam kesempatan yang dihadiri Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo itu juga menyebutkan, soal ketahanan pangan adalah persoalan bersama. Terlebih lagi, Indonesia akan menghadapi perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN. Amran sendiri mempertanyakan kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA. [Kompas]