Di ruang yang lebarnya tiga kali
empat meter itu, duduk termenung memikirkan nasib diri sendiri, pasal apa dan
ayat berapa yang dituntut oleh pak Jaksa dan pak Hakim di Persidangan nanti?
Nasib yang belum jelas dan terkatung-katung menunggu ketukan palu
di tangan pak Hakim dan pak Jaksa, yang bermacam-macam kasus
dari pembunuhan, pencabulan, pencurian, penipuan hingga Narkoba yang
sangat merajalela.
Walaupun Penjara adalah
bukan jalan satu-satunya yang terbaik, tetapi apa hendak dikata nasib
sudah dikandung badan. Akan tetapi penulis yakin, dirinya dan kawan-kawan
di sini tidak akan selamanya berada di dalam jeruji besi ini, suatu saat
pasti akan kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk menghirup udara segar
kembali dan bergabung bersama keluarga seperti orang lain juga.
Sore itu Jum’at 20 September
2011, dia terlihat begitu ceria dengan sebuah senyuman yang bersahabat. Maun
(47) merupakan salah satu dari sekian banyak warga penghuni Blok A (Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Kajhu), yang tak sungkan berbagi sumringah
menatap saya. Lalu, segelas kopi hitam yang aromanya menyengat tak sungkan
dihidangkan sebagai penawar dahaga serta bukti penghormatannya terhadap
pendatang atau penghuni dari kamar lain dan pendatang dari Blok B yang bermain-main
ke blok A.
Di Rumah Tahanan Negara
yang berkontruksi tembok kiri kanan pintu dan
jendelanya desainer dari plat besi semuanya. Dari itulah rumah itu mendapat
julukan jeruji besi sepeninggalan Belanda tempo doeloe, di situlah Maun
bercerita banyak tentang kehidupannya di balik tembok derita,
yang belum bisa menghirup udara segar meskipun sudah bertahun ia mendekam di
rumah tahanan Negara. Perjanjian damai di Helsinki juga tak memberikan pengaruh
besar baginya karna dia bukan tersandung dengan kasus makar atau narkoba dan
pencurian serta bukan juga penipuan, melainkan sang penjahat kelamin.
Hari-harinya dia menghabiskan dengan
mencari kesibukan sendiri dari mencari plastik bekas kemudian dicuci kembali
sampai bersih, niatnya tidak lain adalah untuk tukar dengan sebatang rokok Dji
Sam Soe atau dia jual kepada siapa saja yang mau beli, biasa digunakan
untuk dijadikan bahan bakar pengganti kayu atau minyak gas saat memasak
air untuk secangkir kopi. Selain mecari plastik bekas, ia juga membuka
jahitan “Si Maun” namanya, yang menerima jahitan baju dan sarung bantal yang sudah
koyak ataupun dimakan usia.
Di depan kamar dia tinggal yaitu
kamar 19 terpampang papan nama yaitu “Maun Toilor”, di situ juga
menyediakan aneka pakaian bekas.
Pada waktu jam istirahat, dia
tidak akan menyia-nyiakan kesempatan baik itu untuk mencari plastik bekas
yang masih bercampur dengan sisa-sisa makanan di dalam tong sampah, dia
bersihkan kemudian dijemur sampai kering untuk dijual atau pun
ditukar dengan sebatang rokok Dji Sam Soe.
Penulis: Razali