BANYUWANGI - Beraneka ragam cara masyarakat di Nusantara ini meminta berkah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ya, ritual "Keboan", adalah tradisi ritual meminta kesuburan tanaman bagi masyarakat di kabupaten paling ujung provinsi Jawa Timur.
Tepatnya pada Minggu pagi, 2 November 2014 masyarakat Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi tumpah ruah di sepanjang jalan desa setempat untuk melaksanakan ritual suci itu.
Kami, Tim Portal Media Online Lintasatjeh.com, mengunjungi lokasi prosesi jalannya ritual. Terlihat, di sepanjang jalan air seperti sengaja dibiarkan menggenangi jalan tempat dimana ritual Keboan itu digelar. Lokasi ritual nampak alami, apalagi dengan didirikanya Gapura Poro Bungkil (gapura yang terbuat dari bambu yang berhiaskan tanaman hasil panen masyarakat_red) di sepanjang jalan, menunjukkan bahwa desa itu kaya akan hasil tanaman yang melimpah.
Seperti biasanya, sebelum ritual dilaksanakan terlebih dahulu masyarakat memulainya dengan kenduri dan do'a bersama di halaman rumah masing-masing dengan membawa seancak makanan yang disebut Pecel Petek (pecel ayam_red), dengan dipimpin oleh tokoh adat setempat.
Doa dipanjatkan guna meminta keselamatan dan keberkahan seluruh warga desa Aliyan.
Tak lama kemudian, Grudug !! Beberapa warga desa Aliyan kesurupan. Satu persatu warga yang kesurupan diarahkan oleh tokoh adat setempat ke area yang telah disediakan dan menandainya dengan seikat tali sampur yang mengikat tubuh warga yang kesurupan itu.
Warga yang kesurupan inilah yang kemudian disebut "Keboan" atau Kerbau jadi-jadian. Kerbau dipilih karena sebagai simbol hewan yang mewakili. Sebab, kerbau pada zaman dahulu merupakan hewan yang selalu membantu petani untuk memproses sawah mulai dari membajak hingga mengangkut hasil panen.
Jalannya prosesi semakin meriah saat Kerbau jadi-jadian itu diarak mengelilingi kampung diiringi dengan gamelan khas Keboan yang terdiri dari 4 gamelan Kenong, 2 Gong, 2 Kendang dan 1 Kcrek.
"Ini adalah gamelan khas Keboan mas," sebut Suyitno (47), tokoh warga setempat.
Selain itu, iring-iringan dimeriahkan juga oleh kesenian khas Banyuwangi antara lain kesenian Kuntulan (Rebana), penari Gandrung dan sesosok Dewi Sri lengkap beserta keretanya yang dipenuhi dengan hiasan hasil panen sawah seperti padi dan palawija. Menurut tokoh adat sosok Dewi Sri dipercayai sebagai sang Dewi Kesuburan.
Sedangkan diaraknya Kerbau jadi-jadian ini menurut warga setempat disebut prosesi Ider Bumi. "Kadung diarak gedigi arane Ider Bumi," lanjut Suyit memberikan keterangan kepada wartawan dalam bahasa Osing (bahasa Banyuwangi), yang artinya prosesi ini dinamakan Ider Bumi.
Sorak-sorai serta bergembira seluruh warga berjalan mengikuti iring-iringan prosesi Ider Bumi dan sesekali bersenda gurau dengan para Kerbau yang kesurupan tersebut. Anehnya rasa takut masyarakat kepada beberapa warga yang kesrurupan itu tidak nampak sama sekali, malahan mereka beriring-iringan dan berdekatan sembari memyiramkan air untuk membersihkan lumpur yang mengotori wajah manusia kerbau atau warga yang kesurupan tersebut.
Ritual diakhiri dengan prosesi membajak sawah, hal ini digambarkan oleh dua manusia kerbau yang membawa alat pembajak sawah atau singkal, yang dilanjut dengan prosesi Ngurit (menebar benih) padi oleh salah satu masyarakat yang memerankan tokoh Dewi Sri.
Tradisi yang digelar rutin secara turun-temurun itu menurut Sigit Purnomo selaku Kepala Desa Aliyan kepada sejumlah media mengatakan bahwa ritual ini digelar sejak desa Aliyan dilanda Kresek (Paceklik) pada beberapa abad lalu.
Dengan adanya wabah yang melanda desa, akhirnya Buyut Wongso Kenongo (leluhur desa Aliyan) berdo'a memohon kepada Sang Maha Pencipta agar dihindarkan dari wabah yang melanda desa. Kemudian kedua anak Buyut Wongso Kenongo yakni Raden Pringgo dan Raden Pekik meminta petunjuk kepada sang Maha Pecipta, dan saat itu terjadilah prilaku aneh dikeduanya mereka bertingkah layaknya hewan kerbau yang bergulung-gulung di area persawahan.
Beberapa waktu kemudian dari hasil petunjuk tersebut perkembangan pertanian masyarakat nampak adanya peningkatan karena wabah Kresek yang melanda desa sudah sirna. Sehingga masyarakat pun bisa kembali menggarap sawah dan mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah, dari prilaku kedua anak Buyut Wongso Kenongo itulah hingga kini dikenal masyarakat desa Aliyan sebagai Ritual Adat Keboan.
Sigit Purnomo menambahkan, Keboan yang dilaksanakan seluruh masyarakat desa Aliyan terdiri dari dua kelompok, yakni Keboan blok barat dan Keboan blok timur. "Ada dua keboan yang dilaksanakan diwaktu yang sama, untuk blok barat dilaksanakan oleh warga dusun Kedawung, Sukodono, dan dusun Damrejo.
Sedangkan blok timur di laksanakan warga dusun Timurejo, Krajan, Cempokosari, dan dusun Bolot hal ini di gelar di waktu yang hampir bersamaan dengan tujuan yang sama juga," jelas Kepala Desa Sigit.
Yang menjadi pusat perhatian para pengunjung dalam ritual adat yang dilaksanakan ini adalah, saat benih-benih itu diperebutkan oleh warga, dan kenapa benih ini diperebutkan, karena warga yakin barang siapa yang mendapatkan benih-benih padi itu akan mendapatkan keberkahan tersendiri bagi warga yang menapatkanya guna kesuburan tanaman yang dijauhi oleh hama guna hasil panen yang melimpah ruah.
Selanjutnya beberapa manusia kerbau yang kesurupan itu, dinetralisir oleh sesepuh desa setempat menggunakan tepung beras berwarna kuning yang disebut warga dengan istilah Petong Tawar (Tujuh Penawar) dan beras kuning agar roh yang merasuki manusia kerbau keluar dari tubuh manusia tersebut supaya warga yang kesurupan itu kembali normal seperti semula. (Yudi)