JAKARTA - Survei HSBC bertajuk "The Value of Education Springboard for Success" menunjukan kebanyakan orangtua menganggap biaya pendidikan anak sebagai prioritas.
Dari 4.592 orangtua di 15 negara, yakni Indonesia, Australia, Brasil, Kanada, Tiongkok, Prancis, Hong Kong, India, Malaysia, Meksiko, Singapura, Taiwan, Turki, Inggris dan Amerika Serikat (AS), lebih dari setengahnya menyatakan bahwa membayar biaya pendidikan anak merupakan investasi terbaik yang dapat mereka lakukan.
Sebanyak 80 persen orangtua di Tiongkok menyadari pemahaman tersebut, sementara Indonesia dan Brasil sebesar 77 persen, AS sebesar 75 persen. Adapun rata-rata pemahaman orangtua soal pendidikan anak di dunia sebesar 67 persen.
"Rata-rata mereka mengalokasikan 42 persen untuk investasi pendidikan anak, berbanding alokasi untuk investasi jangka panjang 11 persen dan tabungan untuk pembelian rumah 10 persen," kata Head of Network HSBC Indonesia Diza Larentie dalam Forum "HSBC Wealth & Beyond Personal Economy" 2014 di Jakarta, Senin (13/10).
Lebih lanjut, mayoritas atau sebesar 40 persen orangtua di dunia melihat sekolah swasta memberikan kualitas pendidikan yang sama dengan sekolah negeri. Sementara 32 persen lainnya menyatakan tidak setuju.
"Mayoritas melihat sekolah swasta lebih unggul dalam hal kelengkapan, kelas yang lebih kecil serta kualitas fasilitas, namun sebagian lain melihat sekolah swasta justru cenderung untuk kelompok tertentu dan terlalu eksklusif," tuturnya.
Negara-negara berkembang cenderung mendukung sekolah swasta, seperti Indonesia dimana 41 persen orang tua memilih pendidikan dasar di sekolah swasta. Sementara orangtua di Brasil (25 persen), India (24 persen), Meksiko (23 persen) dan Singapura (23 persen).
Untuk sekolah menengah, 55 persen orangtua di Indonesia memilih sekolah swasta, India (48 persen) dan Tiongkok (45 persen).
Selain itu, 91 persen orangtua di dunia mengatakan mereka mendanai sendiri biaya pendidikan anaknya. Namun 8 persen orangtua berharap anak mereka turut berkontribusi dalam penyediaan dana, seperti melalui kerja paruh waktu, Taiwan 28 persen, AS 25 persen, Inggris 19 persen dan Kanada 18 persen.(beritasatu)