Ketua Dewan Pers, Bagir Manan (ist) |
JAKARTA - Pemilihan Umum Presiden telah berakhir, tetapi kita tidak tahu sampai kapan aksi terorisme akan berakhir. Karena itu, hendaknya pers ikut berperan mendidik masyarakat untuk lebih memahami bahaya terorisme, terutama pada aspek pencegahan aksi terorisme di sekitar mereka.
Demikian dikatakan Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, ketika menutup pelatihan peliputan tentang pencegahan terorisme di Ancol, Jakarta, 24 Agustus 2014. Pelatihan yang diikuti sekitar 50-an wartawan dari media cetak, penyiaran, dan siber ini digelar Dewan Pers bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 22-24 Agustus 2014.
Pelatihan ini menghadirkan sejumlah pembicara Deputi II BNPT, Agus Surya Bakti, anggota Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, Nezar Patria dan Imam Wahyudi. Hadir juga mantan pelaku terorisme dan korban terorisme yang memberikan testimoni. Kisah kedua saksi hidup aksi terorisme ini cukup menyita perhatian peserta pelatihan.
Spektrum luas
Ketua Dewan Pers menambahkan, spektrum untuk mengatasi terorisme sangat luas yakni dari pencegahan sampai penindakan. Karena itu, semestinya pers juga dapat berperan mulai dari proses pencegahan sampai penindakan kejahatan terorisme.
Ia mengingatkan, dalam liputan terorisme terkadang muncul perbedaan pandangan antara pers dan pihak lain. Misalnya, peristiwa terorisme di Mumbai, India, pada tahun 2008. “Pers merasa punya kewajiban menyampaikan informasi kepada publik. Tetapi, informasi live yang disampaikan media India itu ternyata memberi manfaat kepada teroris untuk melakukan tindakan dengan menggunakan informasi media,” ujarnya.
Dalam kaitan itu, kata Bagir Manan, pers hendaknya mempertimbangkan di satu pihak bisa memenuhi fungsi untuk memberi informasi sebanyak-banyaknya kepada masyarakat, di sisi lain pers juga harus menyadari upaya negara mengatasi terorisme tidak terganggu oleh liputan pers.
Menurutnya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pers. Pertama, kesadaran pers dalam bentuk tanggung jawab dalam menghadapi masalah terorisme. Pers mengenal self censhorship. Pers dapat menyeleksi informasi apa yang sudah matang untuk disampaikan ke publik.
“Bukan sekadar ada fakta dan sudah dicek, tapi juga mempertimbangkan sanggupkah publik menerima informasi tersebut dengan baik”, ujarnya.
Kedua, terorisme ada kaitan dengan fenomena ideologi. Tetapi, ada kemungkinan, fenomena ideologi itu membesar karena faktor lain, misalnya eksploitasi ketidakpuasan politik, ekonomi dan lain-lain.
“Semua itu bisa dieksploitasi untuk membesarkan sentimen yang sudah ada yang berbasis ideologi itu. Karena itu, saya ingatkan, pers dapat ikut membantu agar faktor pendukung itu tidak menjadi bensin dari faktor ideologi tersebut”, katanya.
Masalah ISIS
Dalam sambutannya, Ketua Dewan Pers juga menyinggung masalah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang sedang menjadi topik hangat di media. Menurutnya, ada ketidaklogisan. Sebab, bagaimana organisasi yang menamakan Negara Islam Irak dan Suriah bisa berpotensi eksis di Indonesia. Tetapi, masalah semacam ini terkadang berada di luar logika. Hal-hal yang nampaknya aneh bisa saja ada dan terjadi. Itulah fenomena terorisme.
Dalam menghadapi fenomena ISIS, ia menambahkan, tidak cukup para pejabat menyatakan bahwa ISIS bertentangan dengan Pancasila, karena hal itu sudah keniscayaan. Para pejabat hendaknya mencari cara untuk menangkal masuknya ISIS ke Indonesia, misalnya bagaimana mengatasi masalah ketidakadilan sosial yang mudah sekali dieksploitasi untuk kepentingan ideologis tertentu.
Mengakhiri sambutannya, Ketua Dewan Pers berpesan agar pers dapat mengubah sesuatu keadaan tanpa menimbulkan konflik. “Dan ini membutuhkan profesionalisme”, ujarnya.
Ia mengingatkan, ada beberapa kelengkapan profesionalisme untuk wartawan yaitu memiliki pengetahuan yang cukup terkait jurnalistik dan non jurnalistik. Selanjutnya mempunyai skill yang cukup, berorientasi terhadap kepentingan publik, serta tidak berpikir untuk dirinya sendiri tapi untuk kliennya.
“Kliennya adalah publik atau rakyat. Jangan sampai kita punya tujuan baik tapi rakyat menjadi korban dari tujuan baik itu. Rakyat harus mendapat manfaat dari fungsi publik dari pers”, pungkasnya. (dewanpers.or.id)