Banda Aceh - Masyarakat di Provinisi mulai mengangkat bicara masalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan kepala daerah, 14 September 2014. Sebab, pemerintah mengusulkan pemilihan kepala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyat, namun dipilih oleh DPRD seperti sistem pemilihan kepala daerah yang dilakukan pada masa orde baru, yaitu, dipilih oleh anggota parlemen lokal di daerah sesuai dengan tingkatannya.
Penolakan RUU tersebut juga telah dilakukan dibeberapa tingkatan diseluruh nusantara termasuk di Aceh. Jika peraturan dipaksa dibentuk, masyarakat menilai pemerintah telah merenggut hak konstitusi rakyat untuk memilih pemimpinnya didaerah. "Jika RUU menjadi UU, artinya pemerintah telah merampas dan merusak prinsip kedaulatan rakyat yang sesungguhnya," kata Zulkarnaini, salah seorang tokoh masyarakat Aceh ini.
Menurutnya, Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah bagian dari RUU Pemerintahan Daerah yang diusulkan oleh Pemerintah (Kemendagri) untuk menggantikan UU No. 32/2004 jo UU No. 12/2008 yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara terpisah dari RUU Pemda. Namun, ternyata di dalam RUU Pilkada yang diajukan oleh pemerintah tersebut mengatur sejumlah perubahan yang sangat signifikan pengaruhnya terhadap sistem pemilihan kepala daerah.
"Tentunya hal ini akan sangat berpengaruh terhadap sistem pemerintahan daerah, dan merupakan suatu bentuk kemunduran karena rakyat tidak lagi memberikan mandat secara langsung kepada kepala daerah," jelas Zulkarnaini lagi, saat ditemui wartawan di Banda Aceh 14 September 2014.
Seharusnya, menurut dia, rakyat menentukan sendiri siapa pemimpinnya, sebab itu merupakan hakikat dari demokrasi secara substansial. Dan selama ini hakikat tersebut selalu terjaga dengan baik.
Di sisi lain, kepala daerah yang kedudukannya seharusnya sejajar dengan DPRD didaerahnya akan semakin sangat sulit karena dipilih oleh DPRD. Sementara itu, dalam debat calon presiden dan wakil presiden yang dilakukan pada saat pemilihan presiden dan wakil presiden yang lalu, kedua pasangan calon menjanjikan akan tetap dengan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung. Tapi, berdasarkan usulan dari Kemendagri dan perkembangan sidang pembahasan terakhir justru beberapa fraksi mendorong agar pemilihan kepala daerah untuk tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh DPRD dan tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat.
Tokoh masyarakat yang rela berjuang untuk kepentingan umum ini menambahkan, RUU tentang Pilkada memang harus ditolak. Sebab, hal itu sangat bertentangan dengan mekanisme pemilihan langsung yang merupakan esensi partisipasi politik kerakyatan. Bahkan pemilihan langsung akan membuka dan memberikan ruang yang luas bagi rakyat serta lahirnya pemimpin baru sesuai pilihan.
Saat ini, lanjutnya, justru telah 90 persen proses pemilihan langsung kepala daerah yang dilakukan terbukti berjalan dengan damai. Artinya tidak ada sesuatu hal yang dapat menimbulkan kerugian negara selama proses pemilihan langsung dilakukan sejauh ini.
"Itulah yang menjadi alasan mengapa koalisi menolak penghapusan pemilihan langsung. Jika percangan UU Pilkada dilakukan akibat kerugian negara, itupun alasannya tidak memenuhi unsur. Karena jikapun ada kerusuhan selama Pilkada itu juga ditimbulkan akibat elite-elite politik yang tidak mendapat peluang kemenangan, kemudian diikuti masyarakat," kata dia menambahkan.
Penolakan RUU Pilkada ini tentu sudah cukup alasan. Alasan selanjutnya, proses pemilihan kepala daerah secara langsung, terbukti dapat mendekatkan rakyat dengan calon pemimpinnya. Perwujudan, pemilihan umum, bebas, jujur dan adilpun dapat dilakukan secara maksimal.
"Proses pemilihan kepala daerah yang bisa lebih menjamin terpenuhan publik dan pembagunan daerah sesuai aspirasi rakyat, dan itu menjadi alasan selanjutnya mengapa Pemilu Langsung tidak layak untuk dihapuskan," terangnya.
Lebih jauh sosok pria yangh pernah menyalonkan diri sebagai anggota DPR ini mengatakan, hal tersebut memang sudah sejalan dengan prinsip otonomi daerah yaitu partisipasi, akuntabilitas dan demokrasi.
Dalam hal ini, Pemerintah tidak bisa mengelak untuk beralasan jika mempersoalkan biaya tinggi akibat pemilihan langsung. Sebab, ketentuan pemilihan serentak yang membuat gelaran itu lebih efisiensi telah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dugaan proses jual beli suara, menurutnya, tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada rakyat. Karena, hal itu diduga merupakan produk dan perilaku kebanyakan elite politik yang mencalonkan atas dasar kepentingan pribadi.
Masyarakat Aceh berpendapat, asalan pemerintah memblokade Pemilihan langsung, diduga untuk dapat menghindar dari masyarakat dalam persoalan menagih janji secara langsung.
Jika Pilkada dapat dilakukan seperti biasa, setidaknya dapat membuat para pemimpin lebih bertanggungjawab kepada konstituennya, dapat terwujud dengan baik. "Jadi tidak ada alasan langsung bahwa pilkada langsung dikembalikan ke DPRD," demikian disampaikannya saat memberi pandangan tentang alasan penolakan RUU Pilkada yang ditujukan kepada wewenang Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) dimasing-masing daerah. (Jamaluddin Idris)