Banda Aceh - Rancangan Undang-Undang Pilkada pemilihan kepala daerah oleh DPRD dianggap sebagai bentuk perampasan hak politik rakyat. Karena itu, para aktivis di Aceh menyatakan menolak RUU tersebut.
Para aktivis yang tergabung dalam Jaringan Demokrasi Aceh (JDA) akan menggelar aksi bersama menolak RUU Pilkada di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Sabtu (13/9) pagi. Mereka akan menggalang kekuatan rakyat untuk menolak pengesahan RUU Pilkada yang kini sedang dibahas oleh DPR RI.
Salah satu aksi yang dilakukan adalah mengumpulan tanda tangan warga menolak RUU Pilkada.
Koordinator aksi, Amru, mengatakan hal tersebut bertolak belakang dengan capaian demokrasi Indonesia yang semakin terbuka dan demokratis. Janganlah demokrasi kita menjadi mundur hanya disebabkan oleh kepentingan sepihak dari para elit politik.
“Jika disahkan dan diberlakukan, UU itu membuka peluang terjadinya transaksi politik sesama elite. Politik lalu hanya menjadi konsumsi elite semata. Aspirasi dan kedaulatan rakyat tak ada lagi,” kata dia.
Seperti diketahui sebelumnya, enam fraksi di Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR) ingin mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah. DPR mengusulkan kepala daerah kembali dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mereka adalah Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PPP dan PKS. RUU tersebut merupakan usulan pemerintah melalui Mendagri.
Jika UU ini disahkan dan diberlakukan, Pilkada hanya memilih gubernur dan bupati/walikota Wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS. Gubernur tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD provinsi. (ajnn.net)