"Saya tidak melihat eloborasi bukti-bukti yang menguatkan atau mendukung klaim kemenangan Prabowo-Hatta dengan raihan suara 67 juta," ujar Refly saat dihubungi oleh Beritasatu.com pada Minggu (10/8).
Rafly mengungkapkan bahwa inti gugatan Prabowo-Hatta adalah menetapkan Prabowo-Hatta sebagai pemenang pilpres 2014 dan mendiskualifikasi pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang pilpres 2014 sebagaimana telah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Prabowo-Hatta, lanjut Rafly mengklaim meraih 67.138.153 (50,26 persen) suara, sedangkan Jokowi-JK memperoleh 66.435.124 (49,74 persen) suara.
Rafly mengaku heran bahwa dalam gugatan, kubu Prabowo-Hatta mengungkapkan terjadi penggelembungan suara terhadap pasangan nomor urut dua, Jokowi-JK sebesar 1,5 juta suara dan pengusutan jumlah suara pasangan nomor urut satu, Prabowo-Hatta sebesar 1,2 juta suara.
"Jadi suara yang bermasalah sekitar 2,7 juta suara. Sedangkan perbedaan suara berdasarkan rekapitulasi KPU sebesar 8,4 juta suara. Kalau pun suara bermasalah diberikan kepada Prabowo-Hatta, Jokowi-JK tetap meraih suara terbanyak," jelasnya.
Rafly juga menyatakan perbaikan terakhir yang diserahkan ke MK pada Kamis (7/8) dinilai tidak banyak perubahan. "Perbaikan hanya seputar DPT, DPKTb, atau sistem Noken di Papua," katanya.
Untuk membuktikan bahwa telah terjadi kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam pilpres 2014, menurut Rafly sangat sulit.
"Sangat sulit untuk membuktikan adanya kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif karena kedua kubu memiliki kekuatan yang hampir sama dan kinerja KPU sekarang sangat transparan," tandasnya.
Rafly membandingkan dengan Pilpres 2009 yang dimenangkan oleh incumbent. Selisih suaranya, lanjut Rafli sekitar 30 juta suara. Namun, susah membuktikan bahwa telah terjadi kecurangan atau pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.
"Jika TSM tidak terbukti, maka tidak bisa mendiskualifikasi keputusan KPU dan melakukan Pemilihan Suara Ulang (PSU)," pungkasnya. [Suara Pembaruan]