"Refleksi 9 Tahun MoU Helsinki"
MEMORANDUM of Understanding (MoU) Helsinki, tanggal 15
agustus 2014, genap berumur 9 tahun, kalau
kita merefleksikan kembali sejauh mana implimentasi buitir-butir MoU Helsinki
dari sebuah konsensus perdamaian untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung
selama 32 tahun. Lahir nya proses Perdamaian sebenarnya pun bukan lah hal
gampang serta mudah tapi butuh proses panjang dan melelahkan,bahkan beberapa
kali gagal di wujudkan, namun dengan Rahmat Allah SWT, di bawah mediator Crisis
Managemen Centre, sebuah NGO yang di pimpin oleh mantan Presiden Finlandia
Marthii Ahtisari yang memiliki pengalaman menjadi negosiator beberapa negara
yang berkonflik, akhir nya dapat menundukkan Pimpinan Gerakan Aceh Merdeka dan
Pemerintah Indonesia di meja perundingan .
Proses perdamaian
yang berlangsung pasca bencana Tsunami di Aceh, yang melibatkan partisipasi dan
di dukung Badan dunia seperti PBB dan Uni Eropa serta doa rakyat Aceh sendir, tepat
pada tanggal 15 Agustus 2005,kedua delegasi mendatangani Nota Kesepakatan,di
mana delegasi GAM di pimpin oleh Malik Mahmud sementara di pihak delegasi
Pemerintah Indonesia di wakili oleh Menkumham Hamid Awaluddin.yang di saksikan
langsung oleh Marthii Ahtisari beserta tim delegasi masing-masing pihak.
Sebagai tindak
lanjut proses perdamaian dan untuk mengimplimentasikan MoU Helsinki, Pemerintah
Indonesia mengesahkan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh nomor 11 tahun
2006,sebagai produk Hukum , di mana sesuai dengan konstitusi Pemerintah
Indonesia untuk dapat menjalankan atau merealisasikan butir-butir kesepakatan
politik telah memenuhi legal standing sebagai mana di atur di dalam
Undang-undang Dasar 1945.
Pasca pengesahan
Undang-undang Pemerintahan Aceh, pertama kali Rakyat Aceh melaksana kan Pilkada
pada tahun 2007 secara langsung untuk memilih kepala Pemerintahan baik untuk
level Gubernur maupun Bupati/walikota secara demokratis, salah satu hal yang
menarik dengan memiliki Undang-undang Pemerintahan Aceh, rakyat Aceh dapat ikut
serta menjadi calon kepala Pemerintahan melalui non partai politik yaitu
memlalui jalur perseorangan atau independen.
Pada Pilkada 2007, pasangan
Calon Gubernur dan wakil Gubernur yang berasal dari pejuang GAM yaitu Irwandi
Yusuf dengan Muhammad Nazar menang secara mutlak, begitu juga dengan Calon
Bupati/walikota sebagian besar daerah di menangkan oleh pejuang GAM.Kemenangan
Politik yang di peroleh mantan pejuang GAM, tentu merupakan suatu paradigma
baru terhadap dinamika politik di Aceh yang baru selesai dari
konflik,kepercayaan rakyat Aceh yang di berikan kepada mantan-mantan GAM
menjadi dasar legitimasi untuk melaksanakan implimentasi MoU maupun UUPA sesuai
dengan harapan besar rakyat Aceh ,untuk bangkit dari keterpurukan serta masalah
multidimensi sebagai daerah bekas konflik dan bencana tsunami yang
meluluhlantak sebagian kawasan Aceh hancur.
Berselang dua tahun
kemudian , rakyat Aceh kembali melaksanakan pesta demokrasi untuk memilih
senator atau perwakilan rakyat di parlemen pada Pemilu legislatif tahun 2009, Undang-undang
Pemerintah Aceh memberkan kebebasan bagi rakyat Aceh untuk mendirikan Partai
Politik Lokal,sebagai perwujudan demokrasi
dan etintitas rakyat Aceh sesuai dengan kearifan lokal,kewenangan politik yang di peroleh
rakyat Aceh menjadi suatu model demokrasi bagi daerah-daerah lain di
Indonesia.Keberhasilan partai politik lokal terutama bagi mantan GAM ,menguasai
parlemen baik di tingkat DPRA dan DPRK tentu menjadi jalan mulus bagi rakyat
Aceh melaksanakan Self Goverment/Pemerintahan Sendiri untuk mengatur Rumah
tangga sendiri, akan lebih cepat mengwujudkan Pembangunan dan kesejahteraan
rakyat Aceh,dengan kewenangan besar “lex
specialis” dengan memegang kekuasaan baik di eksekutif dan legislatif maka
secara “de facto “ Aceh mirip sebuah Negara Merdeka.
Impian dan harapan
rakyat untuk hidup makmur dan sejahtera akan terwujud ,dan itu bukan mustahil mengingat Pemerintah
Aceh akan memperoleh dan mengelola Anggaran dari berbagai sektor dari Pusat
cukup besar belum lagi dengan Sumber daya Alam Aceh yang melimpah ruah, dengan
cakupan wilayah dan jumlah penduduk hanya 4 juta jiwa, rakyat Aceh telah menghitung
di warung-warung kopi incam percapita rakyat Aceh setara dengan perkapita
rakyat Singapura atau brunai Darussalam.
Perolehan
penerimaan Anggaran yang cukup besar setiap tahun dari Pemerintah Pusat serta
pelimpahan kewenangan sebagai daerah otonomi khusus memiliki korelasi serta implikasi yang luas
terhadap penguatan pembangunan dalam berbagai sektor, sehingga pasca transisi rakyat Aceh sudah merasakan
perubahaan secara signifikan.
Setelah 5 tahun
kepemimpinan pemerintah Aceh di bawah kekuasaan Irwandi- Nazar, kemudian
lanjutkan oleh Gubernur Dr.Zaini-Muzakir manaf, pasangan Calon Gubernur dan
wakil Gubernur Aceh yang terpilih pada Pemilukada tahun 2012,semakin memperkuat
legitimasi dan eksistensi kekuasaan para mantan perjuangan melalui lokomotif
Partai Politik Lokal Penguasa yaitu Partai Aceh.
Kepeminpinan
Gubernur Aceh Zaini Abdullah sampai saat ini hampir memasuki tiga tahun, namun
visi dan misi yang di sampaikan masa
kampanye sampai hari ini belum terlihat memuaskan, indikator tersebut
dapat kita lihat dan rasakan belum muncul konsep Pembangunan yang jelas serta
lahir nya program yang brilian atau spektakuler yang mempunyai ekpektasi
langsung terhadap hajad hidup rakyat serta kebutuhan-kebutuhan mendasar
masyarakat.Bahkan program-program Pemerintah sekarang sebagian besar program
copy paste dari Pemerintahan sebelum nya.
Tinggi nya tingkat
kemiskinan, kesulitan mendapatkan lapangan kerja,harga jual komoditi masyarakat masih sangat rendah ,harga beli kebutuhan
pokok semakin meningkat,susah nya mendapatkan akses bantuan modal usaha.Begitu
juga di bidang sektor Pendidikan yang notabene sektor ini mendapat alokasi
anggaran cukup besar namun pencapaian indek prestasi masih sangat rendah di
banding dengan propinsi lainnya.Aceh mendapatkan rangking 25 dari 33 Propinsi
di Indonesia (Serambi Indonesia,adisi 11 agustus 2014).
Pertumbuhan ekonomi
Aceh, bukan semakin meningkat , menurut
data Kepala Badan Pusat Statistik Aceh (
Analisa,6 mei 2014) ekonomi Aceh anjlok 0,20 persen di bandingkan tahun
sebelumnya, ini menunjukkan prestasi Pemerintah Aceh patut di pertanyakan, realitas tersebut
berbanding terbalik dengan nominal penerimaan yang di peroleh Pemerintah Aceh.
Kondisi di atas
menimbul persepsi terhadap kebijakan dan kinerja Pemerintah Aceh,karena
kemampuan Sumber daya manusianya yang
lemah,atau sejumlah uang rakyat telah di grogoti oleh koruptor-koruptor yang
berada di sekeliling kekuasaan, sisa waktu lebih kurang 2 tahun lagi di bawah
kepemimpinan Doto Zaini dengan Muallem, kita sangat pesimis mampu mengwujudkan
kesejahteraan rakyat Aceh yang menggantung harapan di kepemimpinan mereka.
Tugas lain yang tak
kalah penting bagi Pemerintah Aceh saat ini, mengimplimentasikan MoU Helsinki
yang berkaitan kebijakan regulasi dan politik,masih banyak Peraturan Pemerintah
dan Qanun yang belum terselesaikan, termasuk Qanun Bendera.Terjadinya cowling
down dalam hal pengesahan bendera yang berlarut-larut menunjuk kan lemahnya
advokasi dan diplomasi Pemerintah Aceh terhadap Pemerintah Pusat, ini tak
terlepas dari bergaining position Pemerintah Aceh dalam memainkan peran di
level nasional yang kurang serius,seharus nya Pemerintah Aceh harus mengambil
langkah-langkah strategis dan tegas
dengan membangun kekuatan dan melibatkan
semua stakeholder serta menyatukan persepsi,sehingga tidak ada elemen-elemen
masyarakat yang berbeda pandangan, yang
mempengaruhi keputusan pemerintah Pusat. []
Penulis : Masri (Pemerhati sosial dan politik Aceh).
Redaktur : Jamaluddin Idris