-->

MoU Helsinki Dan Masa Depan Aceh

11 Agustus, 2014, 18.22 WIB Last Updated 2014-08-11T11:25:29Z
"Refleksi 9 Tahun MoU Helsinki"

MEMORANDUM of Understanding (MoU) Helsinki, tanggal 15 agustus 2014, genap berumur 9 tahun, kalau kita merefleksikan kembali sejauh mana implimentasi buitir-butir MoU Helsinki dari sebuah konsensus perdamaian untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama 32 tahun. Lahir nya proses Perdamaian sebenarnya pun bukan lah hal gampang serta mudah tapi butuh proses panjang dan melelahkan,bahkan beberapa kali gagal di wujudkan, namun dengan Rahmat Allah SWT, di bawah mediator Crisis Managemen Centre, sebuah NGO yang di pimpin oleh mantan Presiden Finlandia Marthii Ahtisari yang memiliki pengalaman menjadi negosiator beberapa negara yang berkonflik, akhir nya dapat menundukkan Pimpinan Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia di meja perundingan .


Proses perdamaian yang berlangsung pasca bencana Tsunami di Aceh, yang melibatkan partisipasi dan di dukung Badan dunia seperti PBB dan Uni Eropa serta doa rakyat Aceh sendir, tepat pada tanggal 15 Agustus 2005,kedua delegasi mendatangani Nota Kesepakatan,di mana delegasi GAM di pimpin oleh Malik Mahmud sementara di pihak delegasi Pemerintah Indonesia di wakili oleh Menkumham Hamid Awaluddin.yang di saksikan langsung oleh Marthii Ahtisari beserta tim delegasi masing-masing pihak.


Sebagai tindak lanjut proses perdamaian dan untuk mengimplimentasikan MoU Helsinki, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh nomor 11 tahun 2006,sebagai produk Hukum , di mana sesuai dengan konstitusi Pemerintah Indonesia untuk dapat menjalankan atau merealisasikan butir-butir kesepakatan politik telah memenuhi legal standing sebagai mana di atur di dalam Undang-undang Dasar 1945.


Pasca pengesahan Undang-undang Pemerintahan Aceh, pertama kali Rakyat Aceh melaksana kan Pilkada pada tahun 2007 secara langsung untuk memilih kepala Pemerintahan baik untuk level Gubernur maupun Bupati/walikota secara demokratis, salah satu hal yang menarik dengan memiliki Undang-undang Pemerintahan Aceh, rakyat Aceh dapat ikut serta menjadi calon kepala Pemerintahan melalui non partai politik yaitu memlalui jalur perseorangan atau independen.


Pada Pilkada 2007, pasangan Calon Gubernur dan wakil Gubernur yang berasal dari pejuang GAM yaitu Irwandi Yusuf dengan Muhammad Nazar menang secara mutlak, begitu juga dengan Calon Bupati/walikota sebagian besar daerah di menangkan oleh pejuang GAM.Kemenangan Politik yang di peroleh mantan pejuang GAM, tentu merupakan suatu paradigma baru terhadap dinamika politik di Aceh yang baru selesai dari konflik,kepercayaan rakyat Aceh yang di berikan kepada mantan-mantan GAM menjadi dasar legitimasi untuk melaksanakan implimentasi MoU maupun UUPA sesuai dengan harapan besar rakyat Aceh ,untuk bangkit dari keterpurukan serta masalah multidimensi sebagai daerah bekas konflik dan bencana tsunami yang meluluhlantak sebagian kawasan Aceh hancur.


Berselang dua tahun kemudian , rakyat Aceh kembali melaksanakan pesta demokrasi untuk memilih senator atau perwakilan rakyat di parlemen pada Pemilu legislatif tahun 2009, Undang-undang Pemerintah Aceh memberkan kebebasan bagi rakyat Aceh untuk mendirikan Partai Politik Lokal,sebagai perwujudan demokrasi  dan etintitas rakyat Aceh sesuai dengan kearifan  lokal,kewenangan politik yang di peroleh rakyat Aceh menjadi suatu model demokrasi bagi daerah-daerah lain di Indonesia.Keberhasilan partai politik lokal terutama bagi mantan GAM ,menguasai parlemen baik di tingkat DPRA dan DPRK tentu menjadi jalan mulus bagi rakyat Aceh melaksanakan Self Goverment/Pemerintahan Sendiri untuk mengatur Rumah tangga sendiri, akan lebih cepat mengwujudkan Pembangunan dan kesejahteraan rakyat Aceh,dengan kewenangan besar  “lex specialis” dengan memegang kekuasaan baik di eksekutif dan legislatif maka secara “de facto “ Aceh mirip sebuah Negara Merdeka.


Impian dan harapan rakyat untuk hidup makmur dan sejahtera akan terwujud  ,dan itu bukan mustahil mengingat Pemerintah Aceh akan memperoleh dan mengelola Anggaran dari berbagai sektor dari Pusat cukup besar belum lagi dengan Sumber daya Alam Aceh yang melimpah ruah, dengan cakupan wilayah dan jumlah penduduk hanya 4 juta jiwa, rakyat Aceh telah menghitung di warung-warung kopi incam percapita rakyat Aceh setara dengan perkapita rakyat Singapura atau brunai Darussalam.


Perolehan penerimaan Anggaran yang cukup besar setiap tahun dari Pemerintah Pusat serta pelimpahan kewenangan sebagai daerah otonomi khusus  memiliki korelasi serta implikasi yang luas terhadap penguatan pembangunan dalam berbagai sektor, sehingga pasca  transisi rakyat Aceh sudah merasakan perubahaan secara signifikan.


Setelah 5 tahun kepemimpinan pemerintah Aceh di bawah kekuasaan Irwandi- Nazar, kemudian lanjutkan oleh Gubernur Dr.Zaini-Muzakir manaf, pasangan Calon Gubernur dan wakil Gubernur Aceh yang terpilih pada Pemilukada tahun 2012,semakin memperkuat legitimasi dan eksistensi kekuasaan para mantan perjuangan melalui lokomotif Partai Politik Lokal Penguasa yaitu Partai Aceh.


Kepeminpinan Gubernur Aceh Zaini Abdullah sampai saat ini hampir memasuki tiga tahun, namun visi dan misi yang di sampaikan masa  kampanye sampai hari ini belum terlihat memuaskan, indikator tersebut dapat kita lihat dan rasakan belum muncul konsep Pembangunan yang jelas serta lahir nya program yang brilian atau spektakuler yang mempunyai ekpektasi langsung terhadap hajad hidup rakyat serta kebutuhan-kebutuhan mendasar masyarakat.Bahkan program-program Pemerintah sekarang sebagian besar program copy paste dari Pemerintahan sebelum nya.


Tinggi nya tingkat kemiskinan, kesulitan mendapatkan lapangan kerja,harga jual  komoditi masyarakat  masih sangat rendah ,harga beli kebutuhan pokok semakin meningkat,susah nya mendapatkan akses bantuan modal usaha.Begitu juga di bidang sektor Pendidikan yang notabene sektor ini mendapat alokasi anggaran cukup besar namun pencapaian indek prestasi masih sangat rendah di banding dengan propinsi lainnya.Aceh mendapatkan rangking 25 dari 33 Propinsi di Indonesia (Serambi Indonesia,adisi 11 agustus 2014).


Pertumbuhan ekonomi Aceh, bukan semakin  meningkat , menurut data Kepala  Badan Pusat Statistik Aceh ( Analisa,6 mei 2014) ekonomi Aceh anjlok 0,20 persen di bandingkan tahun sebelumnya, ini menunjukkan prestasi Pemerintah Aceh  patut di pertanyakan, realitas tersebut berbanding terbalik dengan nominal penerimaan yang di peroleh Pemerintah Aceh.


Kondisi di atas menimbul persepsi terhadap kebijakan dan kinerja Pemerintah Aceh,karena kemampuan Sumber daya manusianya  yang lemah,atau sejumlah uang rakyat telah di grogoti oleh koruptor-koruptor yang berada di sekeliling kekuasaan, sisa waktu lebih kurang 2 tahun lagi di bawah kepemimpinan Doto Zaini dengan Muallem, kita sangat pesimis mampu mengwujudkan kesejahteraan rakyat Aceh yang menggantung harapan di kepemimpinan mereka.


Tugas lain yang tak kalah penting bagi Pemerintah Aceh saat ini, mengimplimentasikan MoU Helsinki yang berkaitan kebijakan regulasi dan politik,masih banyak Peraturan Pemerintah dan Qanun yang belum terselesaikan, termasuk Qanun Bendera.Terjadinya cowling down dalam hal pengesahan bendera yang berlarut-larut menunjuk kan lemahnya advokasi dan diplomasi Pemerintah Aceh terhadap Pemerintah Pusat, ini tak terlepas dari bergaining position Pemerintah Aceh dalam memainkan peran di level nasional yang kurang serius,seharus nya Pemerintah Aceh harus mengambil langkah-langkah strategis dan  tegas dengan membangun kekuatan dan  melibatkan semua stakeholder serta menyatukan persepsi,sehingga tidak ada elemen-elemen masyarakat  yang berbeda pandangan, yang mempengaruhi keputusan pemerintah Pusat. []


Penulis : Masri (Pemerhati sosial dan politik Aceh).
Berdomisili di Aceh Timur. Lihat profil Masri di Facebook
Redaktur : Jamaluddin Idris
Komentar

Tampilkan

Terkini