Lintasatjeh.com - Untuk mengurangi panasnya suhu politik menjelang Pilpres 9 Juli mendatang, Dewan Pers meminta pemimpin media untuk memberikan pemberitaan yang tidak merangsang kekerasan.
"Masif sih boleh saja yang penting tidak terjadi pemberitaan itu merangsang konflik, salah satu bentuk konflik kan kekerasan," kata Ketua Dewan Pers Nasional Bagir Manan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/6).
Bagir mengatakan, Dewan Pers sudah menyiapkan beberapa hal sebagai bahan kajian bagi penyelenggaraan pemilu berikutnya. Bagir mengatakan, kondisi yang terjadi di media-media nasional saat ini lantaran adanya celah dalam Undang-Undang serta sistem Pemilu yang berlaku.
"Perlu ada pengkajian ulang pelaksanaan pemilu kita, sistem pemilunya, undang-undangnya. Perlu ada pengkajian ulang yang mendasar dan komprehensif sehingga peluang-peluang sekarang yang kita anggap eksesif ini karena ada peluangnya dalam undang-undang, dalam sistem itu. Itu yg barangkali perlu dikaji ulang, tapi bukan untuk pemilu sekarang tapi untuk 2019 dan DPR baru," ungkap Bagir.
Bagir menambahkan dari Komisi Penyiaran Indonesia, sudah disediakan rambu-rambu yang berlaku untuk media elektronik di Indonesia. Sayangnya, rambu-rambu tersebut tidak didukung instrumen Undang-Undang dalam penerapan sanksi.
"Hanya dua yang dapat dilakukan oleh KPI selama ini, menyatakan mereka melakukan pelanggaran, dan mereka minta agar distop program itu, celakanya enggak ada instrumen melakukan itu. Gak ada instrumen hukumnya," tutur Bagir.
Satu langkah pamungkas bisa dilakukan terkait pelanggaran yang dilakukan media, menurut Bagir, adalah menghentikan izin frekuensi atas rekomendasi KPU (Komisi Pemilihan Umum).
"KPU merekomendasikan agar di masa yang akan datang, ada masa izin frekuensi itu habis agar tidak diperpanjang lagi. Tapi ya kita harus berhati-hati untuk menyetop sebuah stasiun tv dengan segala komplikasinya," tutup Bagir. (Mdk)
"Masif sih boleh saja yang penting tidak terjadi pemberitaan itu merangsang konflik, salah satu bentuk konflik kan kekerasan," kata Ketua Dewan Pers Nasional Bagir Manan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/6).
Bagir mengatakan, Dewan Pers sudah menyiapkan beberapa hal sebagai bahan kajian bagi penyelenggaraan pemilu berikutnya. Bagir mengatakan, kondisi yang terjadi di media-media nasional saat ini lantaran adanya celah dalam Undang-Undang serta sistem Pemilu yang berlaku.
"Perlu ada pengkajian ulang pelaksanaan pemilu kita, sistem pemilunya, undang-undangnya. Perlu ada pengkajian ulang yang mendasar dan komprehensif sehingga peluang-peluang sekarang yang kita anggap eksesif ini karena ada peluangnya dalam undang-undang, dalam sistem itu. Itu yg barangkali perlu dikaji ulang, tapi bukan untuk pemilu sekarang tapi untuk 2019 dan DPR baru," ungkap Bagir.
Bagir menambahkan dari Komisi Penyiaran Indonesia, sudah disediakan rambu-rambu yang berlaku untuk media elektronik di Indonesia. Sayangnya, rambu-rambu tersebut tidak didukung instrumen Undang-Undang dalam penerapan sanksi.
"Hanya dua yang dapat dilakukan oleh KPI selama ini, menyatakan mereka melakukan pelanggaran, dan mereka minta agar distop program itu, celakanya enggak ada instrumen melakukan itu. Gak ada instrumen hukumnya," tutur Bagir.
Satu langkah pamungkas bisa dilakukan terkait pelanggaran yang dilakukan media, menurut Bagir, adalah menghentikan izin frekuensi atas rekomendasi KPU (Komisi Pemilihan Umum).
"KPU merekomendasikan agar di masa yang akan datang, ada masa izin frekuensi itu habis agar tidak diperpanjang lagi. Tapi ya kita harus berhati-hati untuk menyetop sebuah stasiun tv dengan segala komplikasinya," tutup Bagir. (Mdk)