Reporter : Jamaluddin Idris
Lintasatjeh.com - Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh. Namun, aturan keagamaan ini tidak berjalan. Hal-hal yang justru menjadi sorotan publik memang sangat penting untuk diselidiki.
Sorotan publik kian muncul dari berbagai rangkaian jaringan baru-baru ini. Mereka mengkritik keberadaan syari'at Islam di Aceh. Masyarakat menganggap Aceh yang sudah diberi kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam seharusnya dijalankan. Padahal kewenangan tersebut pun diberikan secara khusus melalui serangkai Undang-Undang (UU) nasional dan Keputusan Presiden (Kepres).
Kritikan masyarakat kecil tentu tak akan berbuah hasil, bahkan Pemerinntah dan DPR beranggapan hal yang biasa-biasa saja. Namun, kritikan terkait persoalan ini tak pernah kandas. Sejumlah lembaga-lembaga lokal pun mendesak pemerintah setempat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar membenah perjalanan syari'at Islam.
Padahal, awalnya, kewenangan untuk melaksanakan Syariat Islam sekarang ini dituangkan melalui UUNo. 44 Tahun 2009, sebagai salah satu solusi untuk mengakhiri konflik berdarah yang berkepanjangan di Aceh. Muatan UU tersebut kemudian diperkuat oleh Kepres No. 11 Tahun 2003.
Pemerintah Aceh berpandangan bahwa keputusan tersebut masih dianggap kurang mendukung pelaksanaaan Islam syariat Islam yang menyeluruh di bumi serambi Mekkah ini. Setelah kesepakatan damai diraih, pelaksanaan syariat Islam kemudian diperkuat oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh atau yang lebih dikenal dengan UUPA.
"Syari'at Islam disini (Aceh) tidak berjalan. Pemerintah hanya membentuk programnya saja, lalu pemerintah mengambil uang dari program itu. Artinya syari'at Islam dijual," kata Syukrillah MK, Sekretaris Jendral AF di Banda Aceh, Jum'at (08/08/2014). Dikatakan, setidaknya setelah diberikan wewenang oleh pusat, setidaknya pemerintah menjalankan saja. Pelanggar syari'at Islam justru semakin bertambah pasca Tsunami Aceh. (LA/02)
Lintasatjeh.com - Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh. Namun, aturan keagamaan ini tidak berjalan. Hal-hal yang justru menjadi sorotan publik memang sangat penting untuk diselidiki.
Sorotan publik kian muncul dari berbagai rangkaian jaringan baru-baru ini. Mereka mengkritik keberadaan syari'at Islam di Aceh. Masyarakat menganggap Aceh yang sudah diberi kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam seharusnya dijalankan. Padahal kewenangan tersebut pun diberikan secara khusus melalui serangkai Undang-Undang (UU) nasional dan Keputusan Presiden (Kepres).
Kritikan masyarakat kecil tentu tak akan berbuah hasil, bahkan Pemerinntah dan DPR beranggapan hal yang biasa-biasa saja. Namun, kritikan terkait persoalan ini tak pernah kandas. Sejumlah lembaga-lembaga lokal pun mendesak pemerintah setempat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar membenah perjalanan syari'at Islam.
Padahal, awalnya, kewenangan untuk melaksanakan Syariat Islam sekarang ini dituangkan melalui UUNo. 44 Tahun 2009, sebagai salah satu solusi untuk mengakhiri konflik berdarah yang berkepanjangan di Aceh. Muatan UU tersebut kemudian diperkuat oleh Kepres No. 11 Tahun 2003.
Pemerintah Aceh berpandangan bahwa keputusan tersebut masih dianggap kurang mendukung pelaksanaaan Islam syariat Islam yang menyeluruh di bumi serambi Mekkah ini. Setelah kesepakatan damai diraih, pelaksanaan syariat Islam kemudian diperkuat oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh atau yang lebih dikenal dengan UUPA.
"Syari'at Islam disini (Aceh) tidak berjalan. Pemerintah hanya membentuk programnya saja, lalu pemerintah mengambil uang dari program itu. Artinya syari'at Islam dijual," kata Syukrillah MK, Sekretaris Jendral AF di Banda Aceh, Jum'at (08/08/2014). Dikatakan, setidaknya setelah diberikan wewenang oleh pusat, setidaknya pemerintah menjalankan saja. Pelanggar syari'at Islam justru semakin bertambah pasca Tsunami Aceh. (LA/02)