LANGSA - Setelah munculnya pemberitaan
tentang penanganan kasus dugaan kesalahan prosedur dalam pemusnahan obat-obatan
di RSUD oleh pihak Polres Langsa beberapa hari lalu, mendapat tanggapan dari
salah seorang pakar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Unsam.
Doktor
Yusi Amdani, SH, MH saat ditemui LintasAtjeh.com, Sabtu (22/04/2017), di Langsa
mengatakan bahwa pemberitaan tentang dugaan kasus pemusnahan obat di RSUD
Langsa yang sudah menjadi perhatian publik dan menimbulkan berbagai persepsi
dalam masyarakat Kota Langsa.
Menurut
DR. Yusi, seperti apa yang telah diberitakan dimedia LintasAtjeh.com bahwa penyelidikan
kasus tersebut sudah dilaksanakan sejak tanggal 28 Nopember 2016 yang lalu, dan
sampai saat ini belum ada titik terang, apakah kasusnya sudah di SP3 kan atau naik
kasusnya dari penyelidikan ke penyidikan.
Sambung
DR. Yusi, dalam penyelidikkan perkara pidana kasus lingkungan dalam Pasal 96 UU
No 32 / 2009 tentang alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana
lingkungan hidup yang terdiri dari, Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat,
Petunjuk, Keterangan terdakwa dan Alat bukti yang diatur dalam perundang
undangan. Hal ini sesuai dengan penjelasan huruf F meliputi informasi yang
diucapkan, dikirim, diterima, disimpan secara elektronik, magnetik, optik,
bukti data, rekaman dapat dibaca atau didengar, tulisan gambar huruf simbol
bermakna.
Ia
juga menjelaskan bahwa sesuai ketentuan undang-undang proses penyelidikan dan
penyidikan itu sendiri telah diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP
yang berbunyi, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya.
Pasal
1 angka 5 KUHAP, Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
“Dari
sini, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi
penyidikan. Tetapi, penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi
penyidikan,” terangnya.
“Jadi,
fungsi penyelidik adalah menemukan apakah atas suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana bisa dilakukan penyidikan lebih lanjut oleh penyidik,” imbuhnya.
Oleh
Karena itu, sambungnya lagi, diperlukan proses penyidikan guna mengumpulkan
bukti yang membuat terang suatu tindak pidana. Jika ternyata dari hasil
penyidikan, penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau
bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan
tersangka, maka penyidik dapat melakukan penghentian penyidikan.
Hal
tersebut dapat dilihat dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang berbunyi, SP3 atau
Surat Perintah Penghentian Penyidikan merupakan surat pemberitahuan dari
penyidik kepada penuntut umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya.
Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel SP3, penghentian penyidikan
merupakan kewenangan dari penyidik yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf I jo
dan Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Alasan-alasan dilakukannya penghentian penyidikan
yang terdapat dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yaitu, a. tidak terdapat cukup
bukti yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut
tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan
kesalahan tersangka.
b.
peristiwa yang disidik oleh penyidik ternyata bukan merupakan tindak pidana.
c.
penyidikan dihentikan demi hukum. Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan
hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain
karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah
kedaluwarsa.[Sm]