-->

Gajah Mada 'Tewas' di Tamiang, Benarkah?

12 April, 2015, 08.53 WIB Last Updated 2015-04-12T02:32:49Z
ACEH TAMIANG - Negeri Raja Muda Sedia sangat kaya dengan kisah yang melegenda. Berbagai kisah rakyat masih banyak yang belum tertulis dan atau diketahui secara meluas. Hakikatnya, kisah kisah yang dituturkan oleh rakyat pada umumnya, sangatlah sarat dengan makna dan juga sebagai cerminan filosofi kehidupan mereka yang sesungguhnya.

Demikian juga halnya dengan 'sejarah' asal usul Negeri Tamiang serta kisah perseteruan antara Raja Tamiang dengan pasukan Majapahit yang terkoneksi dengan kabar tentang Putri Sang Raja Tamiang yang cantik jelita dan akan menjadi pertimbangan spesifik dari pasukan Gajah Mada pada saat itu. Oleh karenanya, banyak pihak berupaya menelusuri legenda yang masih misteri tersebut.

Gajah Mada.
Tamiang pada awalnya merupakan satu kerajaan yang pernah mencapai puncak kejayaannya dibawah pimpinan seorang Raja Muda Setia yang memerintah selama tahun 1330 – 1366 M. Pada masa kerajaan tersebut, wilayah Tamiang dibatasi oleh Sungai Raya/Selat Malaka di bagian Utara, Besitang di bagian Selatan, Selat Malaka di bagian Timur dan Gunung Segama (Gunung Bendahara/Wilhelmina  Gebergte), di bagian Barat.

Asal usul Tamiang. 
"Tamiang" adalah sebuah nama yang berdasarkan legenda dan data sejarah berasal dari "Te – Miyang" yang berarti tidak kena gatal atau kebal gatal dari miang bambu. Hal tersebut berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh, ketika masih bayi ditemui dalam rumpun bambu Betong (istilah Tamiang buloh) dan Raja ketika itu bernama Tamiang Pehok, lalu mengambil bayi tersebut.

Setelah dewasa dinobatkan menjadi Raja Tamiang dengan gelar Pucook Sulooh Raja Te – Miyang, yang artinya seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong, tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal.

Sumber lain, mengapa dikatakan "Tamiang" karena raja pertama tersebut memiliki pipi hitam sebelah yang disebabkan oleh miyang bambu (rumpun bambu yang gatal_red). Jadi "Tam" berarti hitam dan "Miyang" berarti rumpun bambu. Maka dijadikanlah sejarah nama daerah tersebut dengan nama "Tamiang".

Tidak ada yang tahu secara pasti kapan Raja Muda Setia wafat. Alkisah menceritakan bahwa ketika musuh memasuki wilayah Kerajaan Tamiang, sang saja sedang asyik bermain cantur dengan permaisurinya. Dan tidak lama kemudian, burung beo selaku hewan kesayangan raja menginformasikan bahwa ada pihak musuh yang memasuki wilayah kerajaan. 

Berhubung raja merasa sudah memperkuat barisan pertahanan pintu masuk, maka sedikitpun tidak ada kecemasan didirinya, mengingat laporan apapun belum didengar dari para pasukan terpercayanya. Sehingga perkataan seekor hewan diacuhkan, kendatipun sang permaisuri telah mengingatkan kepada sang raja.

Melalui tokoh hebat pada masa itu, musuh masuk ke wilayah Kerajaan Tamiang melalui jalur yang tidak disangka-sangka, yakni jalur rimba yang tak mungkin dilalui oleh orang sembarangan. Mereka melakukan perjalanan menggunakan perahu yang berjalan di daratan.

Tampak perahu yang mendekat pada istana membuat jalan yang dilintasinya terbelah dan berubah menjadi sungai. Mungkin inilah asal mula sungai Tamiang khususnya yang berhaluan di Desa Benua Raja.

Dengan memasukkan istrinya ke dalam kendi kecil seukuran kantung. Raja Muda Sedia beserta Permaisuri Potuan Suri Meuru Meligai dan beberapa pengawal berhasil menyelamatkan diri berlayar kearah hulu sungai di kaki Gunung Senggama dengan menggunakan daun keladi sebagai perahu yang juga melaju didaratan.

"Tapak keladi itu menjadi anak sungai yang menjadi bukti nyata bahwa sang Raja memang berada didaerah tersebut." 

Putri Raja yang Jelita dan Majapahit. Raja Tamiang memiliki seorang putri yang sangat cantik jelita. Dialah yang bernama Potuan Putri Meuga Gema yang lebih dikenal dengan Putri Rindu Bulan. Pesona kecantikannya mampu membuat siapa saja lupa akan indahnya rembulan. Sehingga wajarlah jika julukan Lindung Bulan melekat padanya.

Dikemudian hari nama itu dinobatkan menjadi SMU Negeri 1 Kejuruan Muda dengan nama SMU Lindung Bulan yang terletak di Kampung Durian Kecamatan Rantau Aceh Tamiang.

Putri Rindu Bulan yang dikabarkan akan ditunangkan dengan Pangeran dari Kerajaan Peureulak, menjadi sorotan bagi raja-raja dibeberapa kerajaan untuk mempersunting dirinya, tak terkecuali Patih Kerajaan Maja Pahit yang dikenal dengan sumpah palapanya, yakni Gajah Mada.

Menurut lisan leluhur, sebab umum pasukan Maja Pahit yang memasuki kawasan Aceh Tamiang dikarenakan panglima tersebut hendak mempersatukan nusantara, hingga rela tak mengkonsumsi buah kelapa.

Namun dibalik itu ternyata sebab khususnya adalah karena lelaki yang dipercaya sebagai pemersatu bangsa itu terpikat atas keindahan dan kecantikan putri bungsu Raja Muda Sedia yaitu Putri Lindung Bulan, untuk dijadikan hadiah bagi sang Raja Prabu Hayam Wuruk.

Alkisah, disuatu masa setelah Gajah Mada mengucapkan sumpah palapa untuk menyatukan nusantara, maka Gajah Mada beserta pasukan dari Kerajaan Maja Pahit yang jumlahnya ribuan orang, berupaya menyerbu raja-raja yang berkisar di kepulauan Jawa.

Setelah puas dengan kemenangannya, maka Maja Pahit segera menyebar ke kawasan dipulau Sumatera dan pulau-pulau lainnya. Saat itu hampir keseluruhan pulau Sumatera dikuasai oleh Kerajaan Aceh yang menaungi kerajaan-kerajaan kecil lainnya.

Satu persatu kerajaan dari Palembang, Padang, tumbang dihancurkan dan ditaklukkan oleh sang Panglima Gajah Mada. Suatu hari tibalah pertarungan oleh Pasukan kerajaan Maja Pahit dengan Pasukan kesultanan Deli, namun kesultanan Deli tidak mampu bertahan lama dan akhirnya juga takluk.

Pasukan Gajah Mada terus menjelajah, kemudian penyerangan itu berlanjut ke Tamiang dengan berpangkalan di daerah Manyak Payet.

Penyerangan berawal ketika Putri Bungsu Lindung Bulan yang kecantikannya luar biasa itu tersiar ke telinga Patih Gajah Mada. Karena pinangannya saat itu ditolak oleh Raja Muda Sedia, maka Gajah Mada merasa tersinggung lalu menyerang Karajaan Benua Tamiang.

Untuk mengantisipasi hal tersebut maka dikirimlah seorang utusan ke Kuta Radja untuk meminta bantuan bala tentara. Sultan Aceh menyetujui mobilisasi pasukan khas didampingi oleh 7 panglima perang yang kononnya punya ilmu kebal.

Selang bebarapa minggu berhadapanlah pasukan Gajah Mada dengan pasukan Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Hantom Manoe. Dan Hantom Manoe bukanlah nama aslinya, melainkan nama yang diambil dari kata hana mano sebab panglima tersebut dilarang mandi guna menjaga kekebalan tubuhnya.

Perang berkecamuk dengan hebatnya selama tujuh hari tujuh malam, dan akhirnya Gajah Mada terbunuh ditikam oleh panglima dari Kerajaan Aceh. Akhirnya pasukan Kerajaan Majapahit mundur teratur untuk balik ke kampungnya dan meratapi kesedihan akibat kekalahan.

Untuk mengenang kemenangan Kerajaan Aceh terhadap pasukan Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit tersebut, maka kampung/lokasi tempat pertempuran di daerah Aceh Tamiang tersebut dinamakan menjadi kampung Manyak Pahit, adobsi dari nama Kerajaan Majapahit. Kampung ini sampai sekarang masih ada di Aceh Tamiang tidak jauh dari kampung Pahlawan Kecamatan Karang Baru.

Majapahit diambil dari buah maja yang pahit, namun oleh panglima Kerajaan Aceh, kawasan tersebut dipelesetkan menjadi Manyak Pahet, yang artinya anak kecil yang pahit.

Mungkin cuma untuk menunjukkan bahwa Gajah Mada dan pasukannya terhenti di kawasan ini, ataupun mungkin karena dialek orang Aceh yang kesusahan untuk mengucakan kata-kata Majapahit secara fasih dan akhirnya menjadi Manyak Pahet.

Pada cerita rakyat secara umum, Gajah Mada menghilang karena menuju Nirwana (terbang ke surga akibat bertapa dan menjadi dewa), namun hal tersebut menurut pengalaman lisan leluhur Aceh Tamiang; kisah menuju Nirwana merupakan kedok dari pasukan Gajah Mada untuk menjaga moral dan nama baik agar tetap tinggi dan tidak malu akibat gagalnya Gajah Mada memenuhi sumpah palapa.

Tentang kebenaran cerita tersebut, siapa yang tahu jika tidak dilakukan penelitian sejarah secara lebih lanjut. Namun mendengar nama Desa Manyak Pahet dan hikayat cerita masyarakat di sekitar kawasan Tamiang, sekiranya memang hal tersebut benar adanya.

Namun sejarah Indonesia tidak pernah menceritakan apapun tentang tewasnya Gajah Mada di Kerajaan Aceh Tamiang. Yang ada hanya semangat dan sumpah palapa oleh seorang Patih Hayam Wuruk tersebut sebagai oknum yang dianggap pemersatu nusantara.

Mohon maaf jika ada kesalahan penceritaan, kesalahan penyebutan nama dan sebagainya. Mungkin legenda ini bisa dijadikan objek kajian para sejarawan atau pihak terkait lainnya untuk mengobservasi lebih lanjut akan kebenaran cerita, sehingga memberi banyak pengetahuan dan kemasalahatan bagi orang banyak. [pascadunia]
Komentar

Tampilkan

Terkini